Constitutional Court of Indonesia in 2015 established Constitutional Court's DecisionNumber 135 / PUU-XIII / 2015 that revoked the provisions of Article 57 paragraph 3letter a of Indonesian Law Number 8 of 2015 concerning Amendment of Law Number 1concerning the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2014which the substance prohibited person with disabilities for voting in election. Then, LawNumber 7 of 2017 concerning General Elections, which exclusively gave political rightsfor people with disabilities to implement their political rights.Qualifications for people with mental disabilities in elections of The ConstitutionalCourt decides that the phrase "mental disorders/ memory impairment" must beinterpreted as "experiencing mental illness and/ or permanent memory impairmentwhich according to mental health professionals, has abolished one's ability to vote inelections". It means that sufferers with mental disorders and/ or impermanent memoryimpairment must still be registered as voters and they have the opportunity to use theirvoting rights in elections.Equality of political rights for people with mental disorders (Orang Dengan GangguanJiwa (ODGJ)) in elections is very important because general election gives opportunity to increase participation and change public perception for the ability of people with disabilities. As the result, people with disabilities can have stronger political voice andthey are recognized more as equal citizens. Moreover, this research was in category ofnormative research with normative juridical approach. In conclusion, the equality ofpolitical rights for people with mental disorders (orang dengan gangguan jiwa(ODGJ)) in elections is very important because general election gives opportunity toincrease participation and change public perception for the ability of people withdisabilities. As the result, people with disabilities can have stronger political voice andthey are recognized more as equal citizens.

<p>Semenjak hampir 20 tahun berdirinya, terdapat salah satu masalah inheren dalam kinerja Mahkamah Konstitusi, yaitu seringnya putusan yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi tidak dipatuhi oleh institusi-institusi politik seperti Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, terutama dalam putusan yang efeknya mengharuskan kedua institusi tersebut meresponnya dalam bentuk undang-undang baru atau revisi terhadap undang-undang yang ada. Melalui penelitian ini maka penulis hendak mencari tahu alasan apa yang membuat pembentuk undang-undang kerap tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, adapun dalam tulisan ini sendiri penulis menemukan bahwa pembentuk undang-undang seringkali tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi sebab mereka kerap memandang Mahkamah ketika membatalkan undang-undang yang telah mereka bentuk sebagai rival politiknya. Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis dalam tulisan ini mendorong Mahkamah untuk lebih banyak memutus menggunakan metode <em>weak-form review</em> dalam perkara pengujian konstitusionalitas undang-undang, yaitu suatu metode pembuatan putusan yang akan menempatkan pembentuk undang-undang sebagai penentu terakhir validitas suatu norma. Dalam tulisan ini penulis menemukan bahwa metode ini selain kompatibel dengan budaya politik Indonesia yang menekankan prinsip musyawarah-mufakat juga mampu meminimalisir peluang timbulnya konflik antara Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang, dan pada praktiknya pun putusan jenis ini terbukti mampu mendorong pembentuk undang-undang untuk secara sukarela mematuhi putusan Mahkamah.</p>