Murni Winarsih Abstract AbstrakDasar pemikiran penelitian ini berawal dari kemampuan berkomunikasi anak tunarungu di SLB Tunarungu X Jakarta yang dapat dimengerti orang lain dan bisa menangkap pesan orang lain yang disampaikan melalui bicara. Penelitian ini untuk mengetahui pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu di kelas TLO di SLB Tunarungu X Jakarta dengan menggunakan metode MMR. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan model interaktif melalui reduksi data, mendisplay data, mengambil kesimpulan dan verifikasi data. Temuan penelitian menunjukkan bahwa guru-guru di SLB X Jakarta sudah memiliki pemahaman yang cukup baik tentang kondisi dan pemerolehan bahasa dengan menggunakan prinsipprinsip MMR dan melakukan stimulasi terhadap anak melalui BKPBI dan Bina wicara. Kebijakan sekolah menggunakan aliran oral merupakan identitas kolektif sekolah tersebut. Kata-kata kunci: ketunarunguan, komunikasi, metode maternal reflektif, pembelajaran bahasa PENDAHULUANAnak tunarungu mempunyai kecacatan yang tidak segera tampak dibanding dengan anak berkelainan lainnya. Kecacatan baru diketahui jika anak tunarungu diajak berkomunikasi. Secara sepintas yang nampak pada anak tunarungu justru penampilan yang tidak berbeda dengan penampilan anak dengar pada umumnya. Sampai dewasa, kecacatan itu akan berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan dan perkembangan anak tunarungu, yaitu dalam kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sosial, emosi, kognitif, serta kecerdasan. Begitu juga dengan kemungkinan untuk mengikuti pendidikan umum yang di kemudian hari dapat mempersempit kesempatan dalam mencari lapangan pekerjaan (Boothroyd: 2004).Ketunarunguan akan membawa dampak pada pendidikan yang diperoleh penderitanya. Sementara pendidikan memiliki peran penting dalam kemampuan berpikir seseorang. Masa kanak-kanak merupakan masa yang penting dalam proses pendidikan sebagaimana yang diutarakan Bloom dalam Mahesa (2005), bahwa separuh perkembangan intelektual anak berlangsung sebelum usia empat tahun. Lebih jelas lagi, menurut Landshears dalam Mahesa (2005), pada usia empat tahun, perkembangan intelektual mencapai 50%, selebihnya 30% untuk 4-8 tahun, dan 20% usia 9-17 tahun. Sedangkan perkembangan intelektual anak dibantu oleh fungsi indra penglihatan, pendengaran, dan gerakan. Apabila salah satu indra ini mengalami hambatan maka akan berdampak pada pendidikannya. Pada umumnya, Penelitian
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi guru reguler dalam melakukan proses pembelajaran kepada siswa tunarungu di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2012 sampai dengan Juni 2013. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan telaah dokumen kepada 5 orang guru di 5 sekolah inklusif. Temuan dalam penelitian ini adalah guru di sekolah inklusif belum memiliki kemampuan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa tunarungu. Guru reguler selama ini juga belum pernah mengikuti pelatihan yang secara khusus membahas tentang pembelajaran tunarungu dikarenakan belum adanya paket pelatihan pembelajaran tunarungu berbasis contextual learning. Penelitian ini menghasilkan beberapa implikasi dan saran.Kata kunci: pendidikan inklusif, pembelajaran tunarungu, contextual learning REGULER TEACHER COMPETENCE OF LEARNING IN INCLUSIVE SCHOOLS FOR DEAF STUDENTS PENDAHULUAN PenelitianSistem pendidikan di Indonesia saat ini sudah memudahkan siswa berkebutuhan khusus untuk memilih tempat mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini didukung oleh layanan Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara online yang memberikan prioritas khusus bagi siswa-siswa berkebutuhan khusus untuk masuk ke sekolah reguler. Sistem pendidikan yang menerima siswa berkebutuhan khusus ini dikenal dengan pendidikan inklusif, se perti yang dikemukakan oleh Tarmansyah (2007: 82), bahwa sekolah harus mengakomodasi semua siswa tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya.Sekolah inklusif semestinya sudah menyiapkan komponen pendukung termasuk sarana dan prasarana sebagai bukti bahwa sudah siapnya pihak sekolah untuk menerima siswa dengan kebutuhan khusus. Termasuk di dalamnya adalah guru yang akan mengajar kelas di mana siswa berkebutuhan khusus belajar bersama siswa lain di dalamnya. Maka guru reguler yang dimaksud dalam penelitian ini adalah guru yang mengajar di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan tidak memiliki latar belakang Pendidikan Luar Biasa (PLB). Guru-guru ini berasal dari berbagai rumpun pendidikan baik dari jurusan kependidikan maupun non kependidikan. Tanpa memiliki bekal mengenai karakteristik siswa berkebutuhan khusus, namun para guru harus menerima siswa berkebutuhan khusus tersebut untuk turut belajar dalam kelas yang diajarnya karena berada di sekolah yang ditunjuk
Buddhist development, historical learning could use heritage buildings. Looking at the latest curriculum, that learning activities should force the student center to create creativity in learning. This study used qualitative methods for three schools using interview instruments to Indonesian history teachers and students as samples and documented studies about learning activities. The results found that the lack of creativity for teachers to utilize technology, especially the internet, one of which is to use films, documentaries or videos, and visit local cultural heritage sites and museums as media and sources of historical learning. So that it causes history learning to be delivered monotonously. The purpose of this study looks at the use of historical learning resources in Vocational Schools and the impact of the use of these learning resources. Until finally the purpose of this study is to provide solutions for ways of innovation and creation in history learning in vocational schools so that they are in accordance with their vocational training.
This study aims to identify the challenges faced by teachers and the efforts made in the implementation of HOTS-based history learning. In this study, a qualitative method was used by taking research at the Lab School in Kebayoran Jakarta. The analysis was carried using Strauss & Corbin grounded theory approach. The results illustrate three interrelated things, namely the concept of HOTS used, implementation, and challenges faced by history teachers. This study shows that the difficulty faced by history teachers in teaching and learning history based on HOTS is that assessment has been carried out using the HOTS model. On the other hand, training in learning that supports HOTS has not been provided to teachers, many curriculum demands, teacher competencies/skills, lack of time in the learning process, and the learning design made by the teacher does not yet support HOTS. The efforts to answer these challenge can be overcome by (1) increasing teacher understanding/mastery of HOTS concepts, (2) the planning of learning devices arranged to suit the needs of students, and (3) during the implementation of learning using models that support HOTS namely inquiry learning.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan yang dihadapi guru dan upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis HOTS. Dalam penelitian ini, metode kualitatif digunakan dengan mengambil penelitian di SMA Lab School Kebayoran Jakarta. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori ground Strauss & Corbin. Hasil penelitian menggambarkan tiga hal yang saling terkait, yaitu konsep HOTS yang digunakan, implementasi, dan tantangan yang dihadapi oleh guru sejarah. Studi ini menunjukkan bahwa kesulitan yang dihadapi oleh guru sejarah dalam pengajaran dan pembelajaran sejarah berdasarkan HOTS adalah penilaian telah dilakukan dengan menggunakan model HOTS. Di sisi lain, pelatihan dalam pembelajaran yang mendukung HOTS belum diberikan kepada guru, banyak tuntutan kurikulum, kompetensi / keterampilan guru, kurangnya waktu dalam proses pembelajaran, dan desain pembelajaran yang dibuat oleh guru belum mendukung HOTS. Upaya menjawab tantangan ini dapat diatasi dengan (1) peningkatan pemahaman guru / penguasaan konsep HOTS, (2) perencanaan perangkat pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa, dan (3) selama pelaksanaan pembelajaran menggunakan model yang mendukung HOTS yaitu pembelajaran inkuiri.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.