Jasa kesehatan merupakan salah satu jenis jasa yang dihapuskan dari negative list UU PPN. Penghapusan tersebut dilakukan karena sektor jasa kesehatan dianggap memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan pajak di Indonesia. Meskipun begitu, pemerintah masih memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas jasa tersebut karena dianggap sebagai jenis jasa yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional. Namun, peraturan turunan yang mengatur terkait fasilitas tersebut, tepatnya PP 49 Tahun 2022, memiliki klausul yang sedikit berbeda dengan undang-undang di atasnya. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian bagi wajib pajak dan dapat menimbulkan potensi dispute ke depannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas maksud dari perbedaan klausul dalam UU PPN dan PP 49 Tahun 2022 terkait fasilitas PPN dibebaskan atas jasa kesehatan. Penelitian ini juga membahas mengenai sistem pengawasan yang sebaiknya diterapkan untuk mengurangi atau bahkan mencegah upaya penghindaran pajak oleh PKP yang usahanya bergerak di sektor jasa kesehatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan tinjauan literatur berupa jurnal, modul, serta peraturan-peraturan yang relevan dengan topik penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perbedaan klausul pada UU PPN dan PP 49 Tahun 2022 dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda bagi beberapa pihak, sehingga tidak memenuhi asas certainty dalam pemungutan pajak. Pemerintah perlu memperbaiki PP 49 Tahun 2022 untuk memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak dan mencabut fasilitas PPN dibebaskan pada jenis-jenis jasa kesehatan tertentu yang dinilai bersifat premium agar prinsip keadilan dan netralitas PPN tetap terjaga. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk memberlakukan mekanisme RCM pada pembelian BKP dan/atau JKP dari non-PKP berkaitan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang diberikan fasilitas PPN dibebaskan untuk mengurangi atau mencegah upaya penghindaran pajak.