ABSTRAKGlobalisasi berakselerasi sangat cepat baik di negara maju maupun negara berkembang, seperti Indonesia dan Jepang. Kedua negara ini memiliki potensi dan keunikan yang berbeda, namun nilai ekspor pertanian, nilai tambah industri dan globalisasi tetap akan menyebabkan degradasi lingkungan, sejalan dengan hipotesis Environmental Kuznets Curves (EKC). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana globalisasi, ekspor pertanian dan nilai tambah industri berdampak terhadap kelestarian lingkungan. Secara khusus, beberapa hipotesis utama diajukan dengan menggunakan data sekunder, tahun 1990 hingga 2020. Model diestimasi dengan prosedur kointegrasi autoregressive distributed lag (ARDL). Hasilnya, dalam jangka pendek globalisasi sosial di Jepang berdampak positif dan signifikan terhadap peningkatan emisi CO2 dari penggunaan energi on-farm (EMS). Begitu pula dengan nilai tambah industri pertanian dapat memperparah peningkatan EMS baik dalam jangka pendek mapun panjang. Sedangkan, nilai tambah pertanian dalam jangka pendek dapat menurunkan EMS, signifikansi 5%. Namun, dalam jangka panjang nilai tambah industri dapat menurunkan EMS, signifikansi 5%. Berbeda, dengan Indonesia dalam jangka pendek ekspor pertanian berdampak positif dan signifikan terhadap emisi CO2 dari penggunaan energi on-farm. Sedangkan nilai tambah dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang mampu menurunkan EMS, signifikansi 5%. Namun, globalisasi sosial dalam jangka panjang akan memperparah emisi CO2 dari penggunaan energi onfarm (EMS). Oleh karena itu, kami mengusulkan rekomendasi untuk memperbaiki kondisi ini, termasuk roadmap yang jelas, peningkatan kemitraan, dan dukungan regional maupun internasional agar dapat melahirkan kebijakan yang mampu menjaga kelestarian lingkungan terutama di sektor pertanian.