Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa produksi daging sapi Indonesia dari tahun ke tahun cenderung stagnan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan daging nasional. Upaya pemerintah melalui Permentan No. 48/Permentan/PK.210/10/2016 belum mampu mengatasi masalah tersebut, sementara keberhasilan program swasembada daging selalu dihadapkan pada masalah ketersediaan pakan yang berkualitas dan terjangkau. Berbagai jenis biomassa lignoselulosa sebagai produk samping produksi minyak sawit seperti tandan kosong sawit (TKS), solid palm oil mill effluent (POME), dan bungkil inti sawit (BIS) tersedia dalam jumlah yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara sustain dan massal, padahal potensinya sebagai bahan pakan ruminansia sangat besar. Hal ini karena sumber biomassa tersebut mengandung nutrisi yang cukup tinggi, baik berupa protein maupun lemak. Namun, terdapat beberapa faktor pembatas seperti kandungan lignin dan serat kasar yang tinggi, sehingga menyebabkan rendahnya nilai palatabilitas dan tingkat kecernaan. Untuk mengatasi hal tersebut sekaligus meningkatkan nilai nutrisi biomassa lignoselulosa sebagai bahan pakan dapat dilakukan dengan pretreatment melalui pendekatan kombinasi metode fisik, kimiawi, dan biologis. Metode pretreatment biomassa lignoselulosa seperti TKS menggunakan kombinasi fiber cracking technology (FCT) dan urea 5%, kemudian dilanjutkan dengan fermentasi menggunakan jamur pelapuk putih (JPP) seperti Phanerochaeta chrysosporium, Marasmius sp., Penicillium verruculosum, Tremetes vesicolor, Marasmiellus palmivorus, Pleurotus floridanus, dan Ganoderma lucidum merupakan pendekatan yang potensial dalam meningkatkan derajat delignifikasi dan nilai nutrisi. Dengan demikian, biomassa lignoselulosa perkebunan sawit khususnya TKS dapat dioptimalkan pemanfaatannya.