Kelembagaan merupakan aturan dan rambu-rambu sebagai panduan untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain dalam suatu kelompo0k masyarakat. Penataan kelembagaan (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom 1990). Pada dasarnya, kelembagaan dibangun untuk mencegah peluang terjadinya perilaku opportunistik, menekan perilaku rent seeking dan free riding behaviour serta meningkatkan pertukaran informasi antar pihak yang berhubungan sehingga menekan biaya koordinasi (Eggertson 1990 dikutip dalam Nurgoho 2013.Efektivitas kelembagaan ditentukan oleh efektivitas interaksi sosial yang terjadi yang mencakup partisipasi dalam proses pembuatan peraturan sehingga menimbulkan rasa memiliki peraturan tersebut serta komunikasi, informasi, interpretasi dan pemaknaan isi peraturan berlangsung yang melibatkan pengetahuan dan pengalaman maupun jaringan kekuasaan (web of power) yang telah ada di masyarakat (Ribot & Peluso 2003
ABSTRACTMangrove forests in Tongke-tongke is an example of success story of natural resources self governing. The research aims to describe the dynamic of local institution development and its effectiveness in mangrove management growing on accretion land in Tongketongke village, East Sinjai, South Sulawesi. This is a qualitative research by using case study method. The results showed that even without government support, collective action in mangrove management can be realized through various rules and agreements formulated collectively by local institution. Achievement of its management was evaluated by using design principles of Ostrom. Norms and rules agreed by the community has functioned as guideline in mangrove management following enforcement of sanctions for noncompliance. Accretion land under Act No. 16 of 2004 is state property but due to late support and government attendance has caused state property status becomes illegitimate. Ambiguity in tenurial status causing property typology of mangrove forests in East Sinjai can not be classified strictly. This then instigate multilayer property status for different types of products and services produced impying changes in access right to mangrove forest. The success of communities to manage mangrove sustainably in Eastern Sinjai should be supported with the provision of legal access to the public.
Keywords: acccess right, accreting land, institution, mangrove, property status,
ABSTRAKHutan mangrove di Tongke-tongke merupakan success story kemandirian masyarakat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan dinamika perkembangan serta efektivitas kelembagaan lokal dalam pengelolaan mangrove yang tumbuh pada tanah timbul di Desa Tongke-tongke, Sinjai Timur, Sulawesi Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kua...