Is it possible to be corrupt yet ethical? Or good but unethical? In one of Indonesia's most corrupt towns, the answers to these questions are far from clear for young elite civil servants, who must navigate the moral‐ethical landscape of post‐Suharto bureaucracy. For them, anticorruption efforts heighten uncertainty regarding what corruption is and facilitate slippage between various constructions of ethical selfhood. The uncertainty arises at the intersection of local moral economies, national ideologies of state building, the particular global morality of anticorruption, and a conception of the good that inspires neoliberal ideas on governance. Finding themselves at this intersection, young civil servants can find no unambiguous contrast between being “good” and “corrupt.” [corruption, anticorruption, good governance, civil service, morality, ethics, Indonesia]
Apakah mungkin seseorang yang melakukan praktek korupsi akan tetapi pada saat yang bersamaan menjadi seseorang yang etis? Atau sebaliknya; apakah mungkin menjadi seseorang yang baik akan tetapi juga tidak etis? Di suatu kota yang paling korup di Indonesia, jawaban terhadap pertanyaan di atas sangatlah tidak jelas dan sulit untuk diterangkan bagi elit Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda, yang harus menavigasi tatanan moral dan etika dalam tubuh birokrasi pasca kekuasaan Soeharto. Bagi mereka, upaya gerakan antikorupsi justru meningkatkan ketidakjelasan tentang apa itu korupsi dan mempermudah tergelincir di antara beragam konstruksi dan makna etika. Ketidakjelasan itu timbul pada saat terjadi persinggungan antara ekonomi moral lokal, ideologi nasional tentang pembentukan negara, nilai moralitas antikorupsi global dan konsepsi tentang kebaikan, yang menginspirasi ide‐ide neoliberalisme tentang pemerintahan. Bagi PNS yang berada di tengah‐tengah persimpangan ini, mereka menemukan ketiadaan batas yang jelas antar menjadi “baik” dan “korup”. [korupsi, anti korupsi, good governance, Pamong Praja, moralitas, etika, Indonesia]