“…Demikian pula, guru belum maksimal dalam pengembangan nilai agama dan moral (Anggraini et al, 2020;Juhriati & Rahmi, 2021) seperti: pengetahuan tentang agama dan Tuhan diajarkan melalui nyanyian dan tidak ada pembiasaan dalam beribadah (Tanfidiyah, 2017), mengetahui ruang lingkup materi pembelajaran hanya dari buku tanpa melihat kebijakan terbaru (Basuki, 2022), cenderung mengikuti rutinitas belajar yang sangat kaku karena fokus pada gaya mengajar dan materi yang diberikan hanya mengeksplorasi kemampuan kognitif (Hakim, 2016;Mubiar et al, 2020), keragu-raguan dalam memperluas pengetahuan mereka dengan sumber lain (Adi et al, 2022), kesalahan dalam perumusan tujuan pembelajaran dan ketidaksesuaian media pembelajaran yang digunakan dengan tujuan dan materi pembelajaran (Dhiu & Laksana, 2021), kurangnya koordinasi antara guru dan orang tua, lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan kemajuan teknologi (Conradie & Nagel, 2022;Purnama et al, 2022), serta prioritas layanan yang menjadi dilema yakni orientasi pembelajaran berbasis keinginan orang tua (agar anaknya mampu dalam tes penerimaan siswa SD/MI dan dapat bersaing dengan anak lainnya) bukan pada kebutuhan anak sehingga praktik di lapangan ditemukan pembelajaran dimana guru lebih mementingkan ketercapaian tujuan pembelajaran berupa hasil daripada proses seperti pembelajaran calistung (baca-tulishitung) (Latif et al, 2016). Hal tersebut menjadi faktor penghambat dalam perkembangan nilai agama dan moral anak usia dini (Rahmawati & Sumedi, 2020;Ridwan et al, 2021) yang berdampak pada: perilaku moral kurang baik terjadi di sekolah (Kartini et al, 2021), anak belum memahami perilaku mulia, belum mampu membedakan perilaku baik dan buruk, kurang mengenal ritual keagamaan dan hari besar Islam serta belum mengetahui agama orang lain (Tanfidiyah, 2017).…”