Dominasi Oligarki dan Ketidakhadiran Partai Politik Hijau di Indonesia

Abstract

Kerusakan lingkungan dan dampaknya merupakan persoalan yang masih terus berlanjut di Indonesia serta belum cukup mampu untuk mendorong transformasi narasi politik hijau menjadi platform partai politik sebagaimana yang terjadi di negara lain. Literatur sebelumnya seringkali menggunakan kerangka liberalis dan menuntut kesadaran kolektif serta partisipasi masyarakat dalam mengawasi persoalan lingkungan, bukan urgensi keterwakilan politik hijau. Selain itu, perspektif konstitusional dan institusional juga terlampau idealis dan kurang memperhatikan kepentingan individu yang selalu mencari keuntungan. Tulisan ini berupaya untuk menganalisa penyebab dari persoalan lingkungan serta absennya keterwakilan narasi politik hijau dalam bentuk formal dengan menggunakan teori oligarki dan keterwakilan politik. Melalui analisa kualitatif deskriptif dengan metode wawancara dan studi literatur ditemukan: (1) narasi politik Hijau di Indonesia tersebar di berbagai janji kandidat dan partai politik menjelang pemilu, (2) konsentrasi pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam merupakan sumber pendapatan oligark yang terus dipertahankan, (3) keterlibatan oligark dalam politik menghambat pertimbangan narasi politik hijau dalam proses pembuatan kebijakan, (4) ketidakhadiran platform partai politik hijau memberi keleluasaan terhadap dominasi oligark, sedangkan (4) konsolidasi platform politik hijau juga terkendala faktor internal berupa pro dan kontra pendirian partai serta faktor eksternal seperti sistem kepartaian dan aturan-aturan pemilihan umum.

The protest voting behaviour among local voters in the 2020 Surakarta mayoral election

“…This finding is directly proportional to political party oligarchy in Indonesia in that political party leaders have strong financial power and play a central and strategic role in all decisions and policy directions of their respective political parties. Oligarchs in Indonesian political parties include Nasdem, with the financial power of Surya Paloh, and Perindo, with the power of Hari Tanoesodibjo; the Democratic Party, with the leadership of Susilo Bambang Yudhoyono, Gerindra with the leadership of Prabowo Subianto, and, of course, PDIP with the central role of Megawati Soekarno Putri (Hasanal Bolqiah and Raffiudin, 2020; Juniar, 2021; Nge, 2018).…”

The Implementation of Green Politics by the Government and WWF Indonesia in Aspects of Issue and Policy Orientation

“…160 -178 "On a global scale, the planet lost 888,000 square miles of forest and gained 309,000 square miles of new forest between 2000 and 2012. That's the net forest loss equivalent to all land in Alaska" (Nuwer, 2014) The involvement of environmental movements in politics is implemented in various forms, including political parties, community institutions, or the community movement itself (Hasanal Bolqiah &;Raffiudin, 2020). Furthermore, the problem of environmental damage that occurs in Indonesia has indeed caused a movement of public awareness and concern for the environment.…”

Gerakan Lingkungan Dan Partai Politik: Studi Tentang Perjuangan Walhi Dalam Pembentukan Partai Hijau Indonesia

“…Terakhir pada 5 Juni 2012 sejumlah petani, buruh, dan aktivis lingkungan yang diinisiasi oleh Chairil Syah dkk mendeklarasikan Partai Hijau Indonesia (PHI) di Bandung. Terlibat juga pada deklarasi tersebut jaringan Serikat Pekerja Progresif, jaringan WALHI Internasional, dan Serikat Hijau Indonesia (Bolqiah & Raffiudin, 2020). Struktur kesempatan politik yang ada turut memudahkan berbagai kelompok tersebut dalam mendorong agenda politiknya masingmasing.…”

“…Meskipun beberapa partai politik telah memiliki visi menjaga lingkungan, tetapi mereka tidak menjadikan angenda tersebut sebagai prioritas. Karena itu, para aktivis WALHI menganggap perlunya mendorong partai politik alternatif yang memperjukan isu lingkungan dengan sungguh-sungguh (Bolqiah & Raffiudin, 2020). Isu lingkungan hanya menjadi pembicaraan pada masa kampanye tapi tidak sampai pada level kebijakan yang pro lingkungan.…”