Pasien CKD yang memiliki manajemen perawatan yang baik memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mampu mencegah komplikasi. Akan tetapi banyak pasien CKD mengalami kegagalan dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Meski self-management terbukti efektif meningkatkan kapasitas pasien mengelola penyakitnya, sedikit literatur mendiskusikan bagaimana implementasi self-management pada setting rumah sakit. Case study ini bertujuan memaparkan bagaimana implementasi self-management pada seorang pasien CKD yang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit umum daerah di wilayah Jawa Barat. Seorang laki-laki berusia 73 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dewasa dengan keluhan nyeri epigastrium disertai mual muntah, pusing dan lemas. Nilai kreatinin 7.8 mg/dL dan ureum 169,7 mg/dL. Pasien mengatakan kurang memahami terkait pengelolaan penyakitnya seperti diet, batasan cairan, pengobatan, serta aktivitas pada pasien CKD. Skor self-management sebelum diberikan intervensi adalah 53 (partly compensatory system). Selama 3 hari dirawat, pasien menerima edukasi dan diskusi terkait hambatan self-management mengenai diet, aktivitas, serta kepatuhan minum obat. Pembatasan cairan merupakan kendala utama pada pasien ini. Diakhir masa perawatan, pasien mengatakan paham mengenai diet, aktivitas, serta pengobatan pada pasien CKD. Gejala mual muntah sudah tidak dirasakan, nyeri epigastrium dan lemas berkurang. Satu minggu setelah keluar dari rumah sakit dan dilakukan follow up care melalui home visit, pasien telah menerapkan self-management mengenai diet, aktivitas, serta kepatuhan pengobatan CKD. Skor self-management satu minggu setelah keluar dari rumah sakit menjadi 67 (partly compensatory system). Edukasi self-management merupakan strategi yang efektif dalam meningkatkan kemampuan pasien menjalankan self-management. Kemauan dan kesadaran pasien dalam menjalankan self-management ini membutuhkan dukungan keluarga yang kuat