Di antara tiga bencana alam utama, geologi, biologi, dan hidrometeorologi, bencana hidrometeorologi terjadi paling sering (~90%) dan berdampak paling merugikan. Bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di Indonesia adalah banjir, tanah longsor dan aliran debris akibat hujan lebat, gelombang tinggi, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, serta cuaca ekstrim seperti angin puting beliung maupun siklon tropis. Selama 20 tahun terakhir, setidaknya terdapat rata-rata 42 kematian per 1,000,000 populasi akibat banjir di Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang berada di Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT), Indonesia memiliki kondisi iklim dan cuaca yang sangat kompleks dan dinamis. Berkurangnya wilayah resapan dan proyeksi peningkatan intensitas cuaca ekstrim dan frekuensi banjir sebagai dampak perubahan iklim, semakin menambah kekhawatiran terhadap risiko iklim dan cuaca. Tahun 2021, Nusa Tenggara Timur (NTT) bahkan tidak berdaya menghadapi siklon tropis Seroja. Sebanyak 67.1% dari Produk Domestik Bruto di Indonesia dihasilkan dari sektor yang tergantung kepada cuaca dan iklim dengan pertanian adalah sektor peringkat pertama. Dampak bencana hidrometeorologi pada sektor pertanian dapat berupa penurunan luasan area lahan produktif, gangguan dalam operasional serta kerusakan jaringan irigasi, bendungan, dan infrastruktur pertanian lainnya atau secara tidak langsung akibat kenaikan harga komoditi pertanian di pasar setelah bencana terjadi.