Tingginya angka jumlah balita yang mengalami stunting di suatu wilayah sering dikaitkan dengan rendahnya kualitas makan-minum yang dikonsumsi dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Narasi yang sama pun berlaku terhadap tingginya angka jumlah balita stunting di Kabupaten Manggarai Timur (48,4%). Namun, penyebab rendahnya kualitas makan-minum yang dikonsumsi masyarakat dan kebiasaan makan yang sehat di wilayah ini tidak pernah ditelusuri dan dipahami secara utuh. Kajian ini mengkonstruksi “arti” makanan, sehat, dan kesehatan dengan memahami preferensi makan-minum setempat, kepercayaan tentang makan-minum setempat, dan praktek makan-minum yang dimiliki oleh rumah tangga dengan anak-anak stunting di Kabupaten Manggarai Timur. Studi kualitatif dengan 4 focus group yang direkam melibatkan orang tua (pria dan wanita) dari rumah tangga yang memiliki anak stunting dikerjakan melalui pendekatan komunitas. Topik-topik dalam diskusi termasuk pola makan, persepsi lokalitas tentang makanan sehat, bagaimana keputusan diambil dan siapa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan soal makanan, faktor-faktor penghambat dan pendukung melakukan kebiasaan makan makanan yang sehat. Semua transkrip diskusi dianalisa dan diberi kode. Tema-tema yang lebih luas kemudian ditetapkan untuk menuntun penjelasan. Hasil studi menunjukkan responden memiliki perspektif yang mirip tentang penghambat kebiasaan makan sehat (personal, lingkungan, dan struktural) dan manfaat makanan sehat. Studi ini juga mengidentifikasi empat tema utama yang konsisten dari satu grup ke grup lainnya di keempat lokasi: Cara Masyarakat Mengenal Makanan Sehat (Paham makna, motivasi), Kebiasaan Makan yang Sehat (kebiasaan makan dalam keluarga, makan yang “mudah”), Penghambat Melakukan Kebiasaan Makan yang Sehat (Rasa, akses mudah ke penjaja makanan tidak sehat, waktu), dan Preferensi untuk Intervensi (makanan lokal yang sehat, edukasi komunitas). Studi ini menunjukkan bahwa faktor-faktor personal, struktural, dan lingkungan dapat turut mempengaruhi pemaknaan makan makanan sehat di wilayah ini. Studi ini juga menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan budaya justru tidak menjadi variabel tetap dalam konteks memahami praktek makan yang sehat.