Terapi Anti-retroviral (ARV) merupakan pengobatan terbaik untuk mencegah dan mengatasi infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) yang merupakan proses berkepanjangan dan memerlukan pemantauan secara berkala. Penggunaan regimen Nevirapine dianjurkan karena efikasinya yang bagus namun diduga dapat menyebabkan hepatotoksisitas pada hati. Gangguan hati dapat diamati dengan pengukuran kadar enzim SGOT dan SGPT dalam tubuh pasien HIV/AIDS pasca terapi ARV. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati penggunaan regimen Nevirapine pada tahun pertama dan kedua pasca terapi ARV terhadap fungsi hati dilihat dari kadar SGOT dan SGPT. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan studi potong lintang menggunakan data sekunder pasien HIV/AIDS pengguna regimen Nevirapine di Puskesmas Kecamatan Cilandak pada bulan Januari 2019 – Desember 2022 sejumlah 113 responden dengan 40 pasien terapi 1 tahun dan 73 pasien terapi 2 tahun yang memeriksakan normal atau tidaknya kadar SGOT dan SGPT-nya pasca terapi. Terapi Nevirapine tahun pertama menunjukkan persentase kadar SGOT dan SGPT yang abnormal masih menyerupai sebelum menjalani terapi (2,50%), namun persentasenya meningkat pada tahun kedua (30,20% SGOT dan 60,28% SGPT). Uji spearman’s rank digunakan untuk mengetahui korelasi peningkatan kadar SGOT dan SGPT sepanjang waktu terapi dan menujukkan hasil SGOT memiliki koefisien korelasi sebesar 0,33 (p<0,05) dan SGPT sebesar 0,56 (p<0,05) dari tahun pertama dan kedua. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT dapat mengindikasikan adanya permasalahan pada fungi hati, namun perlu pendekatan lebih mendalam untuk mendiagnosis kerusakan fungsi hati. Penggunaan Nevirapine perlu dipantau terus menerus untuk memantau perkembangan fungsi hati pasien terapi ARV regimen Nevirapine.