Penelitian ini bertujuan untuk menelanjangi perjalanan subjek terjajah dan penjajah di dalam Cerpen Di Atas Kereta Angin (DAKA). Penelanjangan tersebut menggunakan konsep poskolonial Homi K. Bhabha untuk melihat perjalanan tokoh-tokoh di ruang hibriditas. Dengan menggunakan metode kualitatif, maka hasil penelitian ini menunjukkan adanya mimikri cara berpenampilan dan bertingkah laku tokoh Dullah dan bumiputra di hadapan orang Eropa. Mimikri tersebut dipicu oleh wacana keadilan dan kesetaraan serta zaman sudah berubah yang diproduksi oleh orang Eropa. Meskipun mimikri tersebut juga menjadi mockery di hadapan mata salah satu orang Eropa, Jan Buskes. Mimikri tokoh Dullah dan bumiputra menjadikannya sebagai subjek yang hibrid, berada di antara Jawa dan Eropa. Kondisi yang hibrid inilah yang melahirkan ruang hibriditas. Ruang hibriditas dalam DAKA pada dasarnya adalah negasi yang diciptakan oleh hubungan antara penjajah dan terjajah. Di satu sisi, Dullah dan bumiputra menggunakannya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang diciptakan oleh Kees dan koloni-koloni lainnya. Akan tetapi di sisi lain juga menjadi ruang penjajah, Kees, dalam mendisiplinkan tubuh Dullah. Keberadaan narasi keadilan dan kesetaraan yang digunakan untuk melunakkan hati Dullah dan bumiputra lainnnya, ternyata melahirkan ruang hibriditas-ambivalen. Dengan adanya ambivalen tersebut, maka DAKA-menjadi salah satu-yang menegasi padangan penulisnya sendiri yang menggap tokoh-tokoh Belanda memiliki sisi humanis. Selanjutnya, melalui DAKA, konsep mimicry as mockery Bhabha tidak berlaku secara universal, contohnya Kees tidak terganggu sama sekali, malahan dia mendekonstruksinya kembali. Terakhir, melalui DAKA, kajian pokolonial dapat digunakan meskipun DAKA memiliki latar waktu saat era kolonialisasi di Hindia berlangsung saat itu. Artinya, poskolonial dapat berbicara di luar ruang dan waktu tertentu-saat era kolonialisasi masih berlangsung, sebelum, atau sesudahnya.