Seiring berkembangnya zaman, tafsir al-Qur’an mengalami banyak problematika dalam perkembangannya, terutama pada sumber penafsiran sekunder atau tafsir bi al-ra’yi. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya Rasulullah Saw tidak memberikan penjelasan ayat al-Qur’an secara menyeluruh, sehingga mendorong para sahabat untuk senantiasa menafsirkan dan mencari tahu makna yang terkandung pada ayat-ayat al-Qur’an. Apalagi pasca wafatnya Rasulullah Saw banyak muncul permasalahan yang belum pernah ada di zamannya, yang menjadikan penafsiran dengan menggunakan ra’yu amat dibutuhkan. Dengan demikian, diperlukan adanya pengkajian kembali tentang tafsir bi al-ra’yi untuk mengetahui lebih jauh terkait sejarah, problematika, maupun batasan-batasan yang ada pada tafsir bi al-ra’yi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa hal-hal yang berkaitan dengan tafsir bi al-ra'yi melalui riset kepustakaan (library research). Adapun hasil dari penelitian ini adalah tafsir bi al-ra’yi merupakan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan nalar dan logika. Pada dasarnya tafsir bi al-ra’yi telah muncul di zaman Rasulullah, tetapi sebagian ulama mengganggapnya sebagai tafsir bi al-ma’tsur karena bersumber dari Nabi dan segala yang bersumber dari Nabi dianggap sebagai wahyu. Pada awalnya penafsiran dengan menggunakan ra’yu mengalami banyak penolakan karena dianggap dapat membawa pada kesesatan. Tetapi seiring berjalannya waktu, sebagian ulama memperbolehkan penggunaan akal dalam menafsirkan al-Qur’an, namun dengan syarat harus mengikuti sejumlah kaidah bahasa dan ketentuan lainnya.