DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Meskipun demikian, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya DKPP menghadapi berbagai tantangan, diantaranya pandangan yang menilai tidak diperlukannya lembaga ini. Selain itu, Putusan DKPP yang bersifat final and binding dinilai menimbulkan efek psikologis bagi jajaran KPU serta Bawaslu berupa ketakutan dan berpotensi menimbulkan polemik hukum yang berkepanjangan. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model komunikasi konstitutif DKPP Periode 2012-2017 berdasarkan manajemen pengetahuan. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan yakni studi kasus. Data penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap tiga Anggota DKPP dan satu koordinator wilayah. Selain wawancara, juga dilakukan studi dokumentasi dan literatur serta observasi. Penelitian ini telah menghasilkan model komunikasi konstitutif DKPP periode 2012-2017 berdasarkan manajemen pengetahuan yang menjelaskan bahwa DKPP sebagai lembaga penegak kode etik berprinsip pada good governance, terutama prinsip keterbukaan dalam membangun kelembagaan, DKPP melakukan sharing meaning dengan mitra utamanya yakni KPU dan Bawaslu RI untuk mengurangi ambiguitas informasi tentang pentingnya kode etik penyelenggara pemilu dan kedudukan lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu sehingga memunculkan kesepakatan mengenai Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 1, 11, 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, dan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Selanjutnya, DKPP periode 2012-2017 berdasarkan manajemen pengetahuan telah menghilangkan ambiguitas informasi dalam negosiasi keanggotaan, koordinasi aktivitas, pembentukan struktur dan posisi kelembagaan yang merupakan aliran pengorganisasian.