Jamaah Tabligh sebagai gerakan keislaman transnasional telah tumbuh di Indonesia sejak tahun 1952 dan hingga kini memiliki cukup banyak pengikut di Indonesia. Dalam perkembangannya, para penggerak Jamaah Tabligh di Indonesia berpakaian dengan cukup khas hingga menjadi identitas tersendiri dari gerakan ini. Berpakaian ala Jamaah Tabligh ini tidak memiliki ketentuan khusus, baik secara tertulis maupun lisan, namun cukup berhasil menjadikan gaya berpakaian ini menjadi salah satu ciri khas Jamaah Tabligh di Indonesia. Setelah tahun 2015, Jamaah Tabligh terpecah menjadi dua faksi: Faksi Syura Alami dan Faksi Keamiran (Maulana Saad/MS). Keduanya sama-sama memiliki gaya berpakaian yang mirip, namun keduanya saling klaim berbeda dalam hal-hal fundamental. Problematika identitas ini juga menghadapi tantangan pada masa pandemic Covid-19 karena gerakan Jamaah Tabligh sempat tertuduh menjadi salah satu klaster penyebar virus, sehingga para penggeraknya harus bernegosiasi dengan konteks dan keadaan dalam hal identitas, tak terkecuali identitas dalam berpakaian. Artikel ini akan menjawab dua rumusan masalah utama, yaitu pertama tentang akar hingga proses transfer pemahaman tentang pakaian khas dalam gerakan Jamaah Tabligh. Kedua, negosiasi identitas Jamaah Tabligh pasca perpecahan dan di tengah masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengkaji sumber data berupa hasil wawancara dan berupa dokumen. Data yang didapatkan dianalisis dan dikaitkan dengan fikih, doktrin agama, identitas, dan negosiasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa di kalangan Jamaah Tabligh, meski tidak ada doktrin secara tertulis dalam hal berpakaian, tetapi terdapat pemahaman hingga praktik berpakaian yang khas dalam cara berpakaian Jamaah Tabligh. Penulis juga menemukan bahwa Jamaah Tabligh berusaha menegosiasikan identitas dalam berpakaian pada saat menghadapi problematika perpecahan dan problematika di masa pandemi Covid-19.