Pedro Penduko, Filipino Comic Superhero: comparative studies between comic and screen adaptation

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan komik Filipina dari adaptasi filmnya. Secara khusus, ini mengeksplorasi bentuk dan konten dalam Pedro Penduko (1954) dan adaptasi film, Pedro Penduko, Episode II: The Return of the Comeback (2000) menggunakan Pendekatan Formalistik dalam kritik sastra. Studi tersebut menyoroti elemen-elemen seperti karakter, simbol, dan tema. Singkatnya, karakter dalam komik tersebut mencontohkan identitas orang Filipina. Namun, versi filmnya memberikan kelegaan komik. Melihat simbol-simbolnya, komik tersebut menggunakan jimat yang umum digunakan dalam budaya Filipina. Film, di sisi lain, menampilkan sarana promosi yang ajaib. Tema dalam komik berkisah tentang isu-isu penting seperti identitas dan budaya, sedangkan film menyangkut kepentingan diri sendiri. Diketahui bahwa bentuk komik berkontribusi pada rasa seni Filipina yang luar biasa. Namun, adaptasi filmnya kurang memiliki kualitas yang sama. Tuntutan akan keluaran visual yang signifikan datang dari penonton yang berharap untuk melihat seni visual yang tidak hanya merupakan karya seni yang menguntungkan tetapi juga relevan secara sosial dan mengarah pada promosi nasionalisme. Kata kunci: Komik Komersial Film Formalisme Seni Visual ABSTRACT Key word: Komiks Commercial Film Formalism Visual ArtThis study intended to compare Filipino komiks from its film adaptation. In particular, it explores the form and content in Pedro Penduko (1954) and the film adaptation, Pedro Penduko, Episode II: The Return of the Comeback (2000) using the Formalistic Approach in literary criticism. The study highlights the elements such as characters, symbols, and themes. In brief, the characters in the komiks exemplify Filipino identity. However, the film version provides comic relief. Looking at symbols, the komiks used an amulet common to Filipino culture.The film, on the other hand, showcases a magical promotional vehicle. The theme in the komiks is concerned with issues as noteworthy as identity and culture, while the film spectacles self-interest. It was discovered that the komiks form contributes to a great sense of Filipino art. However, its film adaptation lacks the same qualities. The demand for significant visual outputs come from an audience who hope to see visual arts that are not just profitable works of art but are socially relevant and geared towards the promotion of nationalism.