Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) adalah sisa dari kegiatan yang mengandung B3, seperti industri, pelayanan kesehatan, dan rumah tangga, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Pengelolaan limbah B3 memerlukan izin dari Mentri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Ketidakpatuhan aturan oleh penghasil limbah B3 dapat mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan, memerlukan sanksi administratif dan pidana sebagai efek jera. Penjelasan lebih rinci pada pertanggungjawaban pidana dan perluasan sanksi diperlukan untuk menekan dampak negatif pada lingkungan hidup.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis-Normatif, dengan metode pendekatan dengan menggunakan bahan hukum pustaka adengan kata lain, penelitian kepustakaan (Library Research). Pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumentasi yakni dengan mencatat informasi dari bahan hukum baik pendapat ahli, hasil penelitian maupun jurnal.
Hasil penelitian bahwa Pertanggungjawaban pidana lingkungan di Indonesia bergantung pada asas kesalahan, di mana individu atau badan usaha harus bersalah untuk dipidana. Fokus konsep pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum terletak pada kesalahan dalam pengelolaan lingkungan, termasuk dumping limbah B3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memungkinkan penuntutan dan sanksi pidana terhadap badan hukum yang mencemari atau merusak lingkungan. Meskipun badan hukum tanpa kejiwaan, pertanggungjawaban diterapkan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan individu di dalamnya. Tindak pidana lingkungan diartikan sebagai perbuatan yang dapat berpotensi pidana sesuai regulasi lingkungan, mencakup "setiap orang" termasuk individu dan badan usaha. Penegakan hukum lingkungan, tahap akhir dalam regulasi kebijakan, menekankan pelaksanaan peraturan yang, jika dilanggar, akan dikenai sanksi sesuai tingkat pelanggaran. Strategi penegakan hukum diperlukan untuk mencapai tujuan kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.