W.R. Supratman wrote the novel Perawan Desa (1929) in the colonial era. The novel tells the life of colonial society in the Dutch East Indies era. This study examines the colonial discourse and resistance in the novel with a postcolonial approach. The colonial discourse in question is discrimination, racial superiority, and racism. Forms of resistance in question are stereotype, mimicry, ambivalence, and hybridity. The method used is descriptive qualitative. As a result, the novel contains colonial discourses and resistance. Acts of racial superiority and racism are shown in scenes of harsh treatment of natives, and different treatment before the law. The mimicry is shown in the imitation of the way of dressing, attitude, and reading habits of Dutch novels. The negative assumptions about other parties outside the group show the stereotype is shown in the negative assumptions about other parties outside the group. The ambivalence is shown in the indigenous interest in Dutch newspapers and the Dutch dislike of working as government employees. Hybridity is shown in the embodiment of Dutch houses decorated with local ornaments and the nickname "mientje" for native women. This novel complexly shows colonial discourse with strong responses against it. AbstrakW.R. Supratman menulis novel Perawan Desa (1929) pada era kolonial. Novel itu bercerita tentang kehidupan masyarakat kolonial pada era Hindia Belanda. Penelitian ini mengkaji wacana kolonial dan resistensi dalam novel tersebut dengan pendekatan poskolonial. Wacana kolonial yang dimaksud ialah diskriminasi, superioritas ras, dan rasisme, yang disampaikan melalui tindakan dan ucapan tokoh. Adapun bentuk resistensi adalah stereotipe, mimikri, ambivalensi, dan hibriditas yang disampaikan dalam bentuk penampilan, cara berpikir tokoh, dan bentuk tempat tinggal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif. Novel Perawan Desa menyuarakan wacana kolonial berupa ucapan orang Belanda yang menyatakan rasnya lebih unggul, perlakuan kasar terhadap bumiputra, dan perbedaan perlakuan di depan hukum. Resistensi terbukti pada tindakan mimikri berupa peniruan cara berpakaian dan kebiasaan membaca roman Belanda. Ambivalensi terbukti pada asumsi negatif terhadap pihak lain di luar kelompoknya, ketertarikan bumiputra pada koran Belanda, dan ketidaksukaan orang Belanda pada pekerjaan pegawai kolonial. Hibriditas terbukti pada pewujudan bangunan rumah Belanda yang dihiasi ornamen lokal dan panggilan “mientje” pada perempuan bumiputra. Novel ini secara kompleks menunjukkan wacana kolonial dengan tanggapan yang kuat terhadapnya.