Previous research findings have led to a gap that sociopragmatic failure, instead of pragmalinguistic failure, has scarcely been resolved despite its crucial function in communication. Therefore, this paper proposes a story-based approach, particularly a joint storytelling with multi-party interaction, to deal with learners' L2 sociopragmatic sensitivity. EFL learners with diverse cultural backgrounds need a motivating environment with agents that can co-construct experiences for optimum learning. By telling stories, learners are engaged in social relations that set them into interpersonal interaction demanding sociopragmatic awareness necessary for the development of their L2 sociopragmatic competence. For this purpose, classroom implementation follows the dimensions of embeddedness, tellership, and tellability while the learning sequence is based on co-constructed learning principles with four stages: setting the stage, executing the storytelling, monitoring the process, and evaluating the results. Future research may be conducted to test the compatibility of the model with actual EFL classroom instructions.Abstrak: Hasil temuan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kegagalan menerapkan sosiopragmatik, bukan kegagalan menerapkan pragmalinguistik, dalam berbahasa Inggris belum berhasil dipecahkan, meskipun peran sosiopragmatik sangat penting dalam komunikasi. Oleh karena itu, makalah ini memaparkan pendekatan berbasis-cerita, khususnya menyusun-cerita bersama dengan modus interaksi serentak untuk mengatasi sulitnya penguasaan sensitivitas sosiopragmatik bahasa kedua. Pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing dengan latar belakang multikultur memerlukan lingkungan dengan pelaku pembelajaran yang mampu menata-bersama pengalaman belajar untuk mencapai hasil yang optimal. Dengan bercerita-bersama, pembelajar menjadi saling terikat secara sosial, sehingga memerlukan kewaspadaan sosiopragmatik dan sekaligus meningkatkan kompetensi sosiopragmatik mereka. Untuk tujuan ini, implementasi bercerita di kelas mengikuti tiga dimensi: keterikatan (dengan kenyataan sehar-hari), seni-bercerita, dan kelayakan-cerita. Urutan berceritabersama didasarkan prinsip pembelajaran susun-padu, yang terdiri atas empat tahap: persiapan bercerita, pelaksanaan bercerita, pemantauan pelaksanaan, dan evaluasi hasil cerita-bersama. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan untuk menguji kesesuaian model pembelajaran ini dengan pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di dalam kelas.