The Effect of Relaxation on Premenstrual Syndrome in Dormitory Students of Azad Tonekabon University of Iran

Effects of circuit-type resistance training on industrial opiate induced neurotransmitter disruption and performance changes of previously addicted men

“…In addition, resistance exercise training increases the production of endorphins in the brain and therefore stimulation of the analgesic system in the brain and the spinal cord, thereby reducing the pain [23,45]. Several studies have shown that exercise activates the same systems that can also be promoted by morphine and other opioids, and releases endogenous opiate peptides, in particular β-endorphin, and elevates the threshold of pain [26].…”

Hubungan Tingkat Stres dengan Kejadian Premenstruasi Sindrom pada Mahasiswa DIV Bidan Pendidik Universitas Respati Yogyakarta

“…(Andiarna, 2018) Perubahan sistem hormonal pada masa luteal dari siklus menstruasi yang menyebabkan terjadinya gejala fisik, kognitif, perilaku dan suasana hati yang terjadi pada 7-14 hari sebelum masa menstruasi. (Khalatbari & Salimynezhad, 2013), (Andiarna, 2018), (Gnanasambanthan & Datta, 2019) Gejala fisik yang umum dirasakan yaitu: kelelahan, sembelit, payudara terasa penuh, sakit kepala, kenaikan berat badan, nyeri tubuh, dan pembengkakan pada ekstremitas, kembung. Gejala emosional atau perilaku termasuk cepat marah, gugup, perubahan suasana hati, kesedihan, depresi, penurunan konsentrasi, hipersomnia / insomnia, dan penarikan diri dari aktivitas seharihari.…”

“…(Hidayat, 2013), (Kurnia & Hapsari, 2016) Di Asia Pasifik, prevalensi premenstruasi sindrom yang terjadi di Australia sebanyak 44% wanita usia subur, di Jepang sebanyak 34% populasi wanita usia subur, di Hongkong sebanyak 17% populasi wanita usia subur, dan di Pakistan sebenayak 13% populasi wanita usia subur. (Khalatbari & Salimynezhad, 2013) Studi populasi menunjukkan ada sekitar 80-90% wanita mengalami gejala pre-menstruasi sindrom dalam beberapa siklus dan setidaknya sekitar 3% -8% wanita yang mengalami pre-menstruasi sindrom yang parah, yaitu PMDD (Premenstrual dysphoric disorder ) yang berada pada usia 20-29 tahun. (Khalatbari & Salimynezhad, 2013), (Andiarna, 2018, (Gnanasambanthan & Datta, 2019) Saat ini ada dua teori yang dipostulasikan pada etiologi PMS, yaitu kesensitifan wanita terhadap perubahan hormon progesteron dan estrogen menjelang menstruasi dan perubahan kedua hormon tersebut menyebabkan penurunan kadar hormon serotonin.…”

“…(Khalatbari & Salimynezhad, 2013) Studi populasi menunjukkan ada sekitar 80-90% wanita mengalami gejala pre-menstruasi sindrom dalam beberapa siklus dan setidaknya sekitar 3% -8% wanita yang mengalami pre-menstruasi sindrom yang parah, yaitu PMDD (Premenstrual dysphoric disorder ) yang berada pada usia 20-29 tahun. (Khalatbari & Salimynezhad, 2013), (Andiarna, 2018, (Gnanasambanthan & Datta, 2019) Saat ini ada dua teori yang dipostulasikan pada etiologi PMS, yaitu kesensitifan wanita terhadap perubahan hormon progesteron dan estrogen menjelang menstruasi dan perubahan kedua hormon tersebut menyebabkan penurunan kadar hormon serotonin. Banyaknya responden yang mengalami stres normal, menurut Hidayat disebabkan respon stresor yang diterima setiap individu akan ditanggapai berbeda berdasarkan faktor yang mempengaruhinya serta coping yang dimiliki individu, faktor yang pengaruhi respon terhadap stresor antara lain jenis kepribadian, besaran stresor, sifat stresor, lama stresor, adanya pengalaman dari masa lalu serta tahap perkembangan.…”

“…Sehingga responden rentan mengalami pre-menstruasi sindrom. (Khalatbari & Salimynezhad, 2013) Faktor-faktor yang memperberat terjadinya PMS antara lain, usia, usia menarche, kondisi kesehatan fisik dan mental, riwayat dysmenorrhea, volume darah saat menstruasi, status marital, pekerjaan, pola hidup individu, aktivitas harian dan kegiatan sosial. Stres merupukan faktor terbesar dalam menimbulkan terjadinya.…”