This article is focused on a juridical analysis of the prohibition against priests from being involved in practical politics in the light of the confirmation of the Church's magisterium and its relevance to the 2024 general elections. Using document study methods, this article shows that on the one hand, priests have political rights and therefore they can and even have to get involved in politics for the sake of the general welfare, but on the other hand, they are prohibited from getting involved in practical politics which is directly related to civil power. This prohibition is not intended to limit the political rights of priests but rather is due to considerations of the identity of priests as spiritual ministers, their mission to create peace and harmony and respect for the laity. The author argues that this prohibition is very relevant in the context of the upcoming 2024 elections. Priests must take this Church prohibition seriously and Ordinaries must undertake pastoral and juridical interventions if circumstances demand it.
Key Words: Priest, prohibition, practical politics, Church’s magisterium
Artikel ini difokuskan pada analisis yuridis tentang larangan terhadap para imam untuk terlibat dalam politik praktis dalam terang penegasan magisterium Gereja dan relevansinya terhadap pemilihan umum 2024. Dengan menggunakan metode studi dokumen, artikel ini memperlihatkan bahwa di satu pihak, imam memiliki hak politik dan karena itu mereka dapat dan bahkan harus terlibat dalam politik demi kesejahteraan umum, namun di lain pihak, mereka dilarang untuk terlibat dalam politik praktis yang berhubungan dengan kekuasaan sipil. Larangan ini tidak dimaksudkan untuk memasung hak politik imam melainkan karena pertimbangan identitas imam sebagai pelayan rohani, misi mereka untuk menciptakan perdamaian dan kerukunan serta penghormatan terhadap kaum awam. Penulis berargumentasi bahwa larangan ini sangat relevan dalam konteks pemilu 2024 yang akan datang. Para imam harus memperhatikan secara serius larangan Gereja ini dan para Ordinaris harus melakukan intervensi pastoral dan yuridis jika keadaan menuntut untuk itu.
Kata Kunci: Imam, larangan, politik praktis, magisterium Gereja