Threat by Association, Islamic Puritanism and Conspiracy Beliefs Explain A Religious Majority Group’s Collective Protest Against Religious Minority Groups

Abstract

This article addresses the question of why members of a majority group, despite their more powerful status, may protest against low-power minority groups. The present study addressed this question in the context of immanent intergroup relations between Muslims, as the majority group, and non-Muslims, as the minority group, in Indonesia. It is argued that at the core of such collective protests is a threat by association, a perception of the majority group members that the minority groups are in league with the West which threatens the existence of Muslims worldwide. Based on data collected using a survey questionnaire from Indonesian Muslims ( N = 418) this study tested a hypothesised model using threat by association posed by the minority groups, Islamic puritanism and beliefs relating to western conspiracy to predict collective protests and intolerant intentions against non-Muslim minorities in Indonesia by using MPlus version 7.0. The hypothesised model found empirical support. The relationship between threat by association and Islamic puritanism with collective protests was mediated by Western conspiracy beliefs. It was also found that support for collective protests got translated into majority group members’ religious intolerant intentions against the people belonging to the non-Muslim minority groups. The article discusses the theoretical implications and research limitations of these empirical findings.

Literasi Digital dan Sosial Emosional untuk Meningkatkan Pengetahuan Pelajar SMA Mengenai Radikalisme Beragama

“…Dokumentasi kegiatan sosialisasi Data hasil pengabdian kepada masyarakat terlebih dahulu diuji normalitasnya menggunakan Uji Kolmogorov Smirnov. Pengujian ini dilakukan melalui perangkat lunak SPSS for Windows (Field, 2013) Dengan mempertimbangkan distribusi yang tidak normal di atas, Wilcoxon signed-rank test (Mashuri, 2023) digunakan sebagai statistika nonparametrik untuk menguji signifikansi perbedaan skor pada tahap pre-test dan tahap post-test dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini. Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3 di bawah ini menampilkan hasil uji signifikansi perbedaan skor tiga aspek pengetahuan sebagaimana dijelaskan di atas pada tahap pre-test dan post-test.…”

“…Radikalisme sebenarnya tidak hanya bersinggungan dengan agama Islam. Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha adalah agama-agama arus utama lainnya yang juga rawan terhadap radikalisme (Ludigdo & Mashuri, 2021;Mashuri & Osteen, 2023). Radikalisme bahkan juga mengemuka di luar domain agama, seperti gerakan separatisme, kelompok ekstrim sayap kanan dan kelompok ekstrim sayap kiri (Doosje dkk., 2016).…”

“…Pengujian ini dilakukan melalui perangkat lunak SPSS for Windows(Field, 2013) versi 21. Hasil menunjukkan bahwa distribusi pengetahuan mengenai radikalisme secara umum (tahap pre-test; Z = 2,06, p < ,001; tahap post-test; Z = 2,78, p < ,001), radikalisme Islam secara khusus (tahap pre-test, Z = 1,43, p = ,034; tahap post-test; Z = 2,30, p < ,001), literasi digital kognitif dan sosial emosional (tahap pre-test; Z = 1,60, p = ,012; tahap post-test; Z = 2,52, p < ,001), serta evaluasi terhadap program sosialisasi (tahap post-test; aspek pemenuhan kebutuhan, Z = 2,96, p < ,001; aspek tujuan, Z = 2,51, p < ,001; aspek implementasi, Z = 2,31, p < ,001; aspek hasil, Z = 2,48, p < .001) terdistribusi secara tidak normal.Dengan mempertimbangkan distribusi yang tidak normal di atas, Wilcoxon signed-rank test(Mashuri, 2023) digunakan sebagai statistika nonparametrik untuk menguji signifikansi perbedaan skor pada tahap pre-test dan tahap post-test dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini. Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3 di bawah ini menampilkan hasil uji signifikansi perbedaan skor tiga aspek pengetahuan sebagaimana dijelaskan di atas pada tahap pre-test dan post-test.…”

The role of perceptions of inter-group conflict on religious radicalism: losing meaning as a mediator

“…Kehilangan makna diartikan sebagai peristiwa ketika keadaan ekonomi, status sosial, diskriminasi, hubungan sosial, dan trauma atau kecemasan dan keterancaman yang dimiliki atau dialami seseorang dihina dan dipermalukan oleh orang lain (Jasko dkk., 2017) (Mashuri, dkk., 2016a(Mashuri, dkk., , 2016bMashuri & Osteen, 2023).…”

“…Padahal, integrated threat theory of prejudice (Stephan & Stephan, 2013) berpandangan bahwa persepsi ancaman realistik maupun simbolik umumnya dialami oleh kelompok yang statusnya minoritas dan lemah secara politis. Dalam konteks penelitian ini, sumber dari persepsi ancaman tersebut disebut sebagai threat by association (Mashuri & Osteen, 2023) (Gaertner & Dovidio, 2014), yang dalam konteks penelitian ini adalah identitas yang memayungi dan menyamakan Muslim dan pihak Barat. Negosiasi identitas (Harinck & Druckman, 2017) juga bisa dijadikan sebagai alternatif intervensi sosial, dengan fokus pada penghargaan anggota suatu kelompok terhadap identitas kelompok lain.…”