Why Does Kant Think We Must Believe in the Immortal Soul?

Tizzard, Jessica

doi:10.1017/can.2019.10

Cited by 9 publications

(7 citation statements)

References 16 publications

Supporting

Mentioning

Contrasting

Unclassified

Order By: Relevance

“…Psychology generally studies human behavior, while Sufism is more than that, Sufism has a broader scope. This is based on the objects of Sufism are the soul ar-ruh, heart (Qalb), and self (an-nafs) (Frager, 2005;McLaren, 2020;Tizzard, 2020).…”

Section: The Convention Point Between Sufism and Psychologymentioning

confidence: 99%

Mental Health in the Psychology and Tasawuf Perspectives

Fitria¹

2023

jis

View full text Add to dashboard Cite

Mental health is essential to learn because it is the well-being of a person's condition in knowing and developing someone’s potential. Because it is considered an important issue, mental health is ultimately correlated with other sciences. One of them is the science of Sufism. The science of Sufism is very appropriate in discussing this mental health problem because the object of study in Sufism and psychology both discuss the human soul. Sufism is well known, and the science that examines mental health is the science of psychology. Combining knowledge between these two branches of knowledge, hoped that it can increase faith to achieve the goal of life, namely, to be happy and prosperous both in this world and in the hereafter.

show abstract

Section: The Convention Point Between Sufism and Psychologymentioning

confidence: 99%

Mental Health in the Psychology and Tasawuf Perspectives

Fitria¹

2023

jis

View full text Add to dashboard Cite

show abstract

“…Both, he writes, are to be rejected because both would ultimately hinder our moral efforts (5: 123). 18 Accordingly, once we attend to the sentences that follow Kant's initial characterisation of the goal, we find him clarifying his point in a way that halts the standard objection debated in the literature (Allison 1990;Guyer 2016;Hahmann 2018;Tizzard 2020;Palatnik 2022) that he illicitly substitutes the first Critique's goal of virtue with now the goal of holiness.…”

Section: What Is the Goal Of Our Moral Improvement?mentioning

confidence: 98%

The Postulate of Immortality in the Critique of Practical Reason (and Beyond)

Pasternack

2024

Kantian rev.

View full text Add to dashboard Cite

It is widely claimed that the second Critique’s argument for the postulate of immortality is relevantly different from the first Critique’s argument for the postulate. It is also widely claimed that after the second Critique, Kant distances himself from its particular version of the argument, and even the postulate altogether. It is the purpose of this article to challenge these claims, arguing instead that (a) there is overwhelming textual evidence showing that Kant did not abandon the postulate; (b) the second Critique does not contain a substantially different argument for the postulate than how it is argued for in the first Critique; and (c) the philosophical objections levied against the second Critique’s argument, including its putative substitution of holiness for virtue, become moot once its argument is better understood.

show abstract

“…Filsafat klasik Yunani (misalnya Sokrates dan Plato) dan Romawi (misalnya Epiktetus dan Seneca) membahas kedua isu ini secara mendalam, dengan lebih menempatkan dua isu ini dalam ranah metafisika dan etika. Filsafat modern juga mengelaborasi kedua isu ini, seperti dalam Kritik der praktischen Vernunft (KpV) karya Immanuel Kant (1788) khususnya terkait postulat imortalitas jiwa (Tizzard, 2020) maupun Martin Heidegger dengan ontologinya tentang "Ada menuju Kematian" (Sein-zum-tode) dalam adikaryanya, Sein und Zeit (1927).…”

Section: Pengantarunclassified

Dekonstruksi Imortalitas dalam kerangka Kritik terhadap Modernitas dan Pascamodernitas: Telaah Zygmunt Bauman

Putranto¹

2022

Dekonstruksi

View full text Add to dashboard Cite

Rasa takut akan kematian dan damba akan kekekalan sudah lama dibahas agama dan filsafat. Sayangnya, masih teramat sedikit ilmu sosial lintas-disiplin dan multi perspektif yang mengaji isu mortalitas dan imortalitas sekaligus dalam bentuk buku tunggal (monograf). Merefleksikan pandangan Zygmunt Bauman dalam Mortality, Immortality, and Other Life Strategies (1992), penulis menawarkan rekonstruksi pemikiran Bauman tentang konsep modernitas dalam hubungannya dengan isu mortalitas dan konsep pascamodernitas dalam hubungannya dengan isu imortalitas. Sebagaimana modernitas mendekonstruksi isu besar mortalitas menjadi sejumlah problem yang bisa ditangani, demikian juga pascamodernitas mendekonstruksi isu imortalitas menjadi enam model berbasis problem, seperti problem identitas yang cair sebagai proyek konstitusi-diri (identitas pengembara), ketenaran dalam fesyen dan selebriti, ide repetisi dan representasi, permainan dan tontonan, rantai kenikmatan sesaat yang ultim, sebagai strategi stratifikasi sosial, dan sebagai penegasan identitas sekaligus otoritas dalam komunitas. Strategi dekonstruksi kekekalan mengemansipasi subjek pelaku, baik dalam dimensi individualitas maupun kolektivitasnya, dari keterbelengguan terhadap ruang-waktu (sejarah, wacana, ideologi, dan lain-lain), memampukan orang untuk meraih sesuatu yang pada prinsipnya mustahil untuk dijangkau di sini dan sekarang, tapi sekaligus menyimpan potensi ketidakadilan (misalnya lewat strategi stratifikasi dan eksklusi, juga privilese akses elit terhadap kekekalan), menonjolkan primasi entitas yang ontis di atas yang etis, serta melahirkan gugus korban baru. Dalam konteks yang lebih kekinian, cara-cara baru untuk mendekonstruksi imortalitas telah mengalami pergeseran dari dunia hiburan ke ranah teknologi, tapi ide imortalitas tetap dipreteli aura kesuciannya dan secara terus-menerus dibuat menjadi profan dan dikomodifikasi. Imortalitas dijadikan satu dari sejumlah objek hasrat yang tersedia di pasar dan dapat dibeli dengan uang. Betapapun hasrat menjadi kekal terus didamba dan diupayakan untuk terwujud di sini dan sekarang, entah dengan bantuan serum anti-aging, dengan mengunggah jejak-jejak identitas dan kesadaran dalam mesin pintar yang digerakkan kecerdasan buatan terpersonalisasi, record and digitize, ataupun dengan teknologi cryonics, tantangan dan tentangan terus datang silih berganti.

show abstract

Why Does Kant Think We Must Believe in the Immortal Soul?

Cited by 9 publications

References 16 publications

Mental Health in the Psychology and Tasawuf Perspectives

Mental Health in the Psychology and Tasawuf Perspectives

The Postulate of Immortality in the Critique of Practical Reason (and Beyond)

Dekonstruksi Imortalitas dalam kerangka Kritik terhadap Modernitas dan Pascamodernitas: Telaah Zygmunt Bauman

Contact Info

Product

Resources

About