Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu penyimpanan ovarium terhadap tingkat maturasi inti oosit secara in vitro pada domba. Ovarium diperoleh dari rumah potong hewan dan disimpan dalam medium NaCl fisiologi dengan lama waktu penyimpanan yang berbeda (2-4 jam, 5-7 jam dan 8-10 jam setelah pemotongan hewan) dan temperatur penyimpanan yang berbeda (27-28°C, 36-37°C dan 4°C). Oosit dengan sel-sel kumulus yang kompleks dikoleksi masing-masing dari ketiga kelompok suhu dan waktu penyimpanan dengan metode slicing dan kemudian dimaturasi selama 26 jam. Tidak ada perbedaan tingkat maturasi inti oosit yang mencapai tahap metafase II pada penyimpanan suhu 27-28°C maupun pada suhu 36-37°C dengan waktu penyimpanan selama 2-7 jam (P>0,05). Sedangkan tingkat maturasi yang lebih rendah ditunjukkan oleh oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu 4°C (69,23%, 70,83% dan 45,65% berturut-turut untuk waktu penyimpanan 2-4 jam dan 59,61%, 64,58% dan 36,36% berturut-turut untuk waktu penyimpanan 5-7 jam. Tingkat maturasi dari kelompok penyimpanan dengan suhu 27-28°C dan 36-37°C mengalami penurunan dan sebaliknya penyimpanan pada suhu tidak menunjukkan penurunan tingkat maturasi oosit setelah penyimpanan 8-10 jam (24,37%, 7,84% dan 45,23%, berturut-turut) (P<0,05). Tingkat maturasi oosit pada suhu 4°C justru lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu yang tinggi. Penelitian ini menunjukkan penyimpanan ovarium pada suhu 4°C selama 8-10 jam dapat mempertahankan kompetensi pematangan oosit domba, lebih baik bila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh suhu dan waktu penyimpanan ovarium terhadap tingkat fertilisasi oosit secara in vitro pada domba. Ovarium dibawa dari rumah potong hewan (RPH) dalam medium NaCl fisiologis pada suhu yang berbeda yaitu 27-28° C, 36-37° C, dan 4° C. Oosit kemudian dikoleksi dari setiap kelompok berdasarkan waktu penyimpanan yang berbeda yaitu 2-4, 5-7, dan 8-10 jam setelah domba dipotong. Oosit dikoleksi dan dimaturasi secara in vitro dalam inkubator 5% CO2, 38,5°C selama 28 jam. Oosit kemudian difertilisasi ke dalam drop spermatozoa selama 14 jam dalam inkubator CO2 5%, 38,5 C. Tingkat fertilisasi dievaluasi berdasarkan jumlah pronukleus yang terbentuk. Tingkat fertilisasi oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28° C tidak berbeda dengan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 36-37° C dan pada suhu 4° C, 2-4 jam setelah kematian hewan (masing-masing 53; 66,66; dan 63%) (P>0,05). Tingkat fertilisasi oosit mulai mengalami penurunan pada tiga kelompok perlakuan setelah ovarium disimpan selama 8-10 jam, tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 27-28° C; 36-37° C; dan suhu 4° C masing-masing berturut-turut sebesar 9,8; 22,22; dan 12,24%. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa penyimpanan ovarium pada suhu 27-28° C dan 36-37° C selama 5-7 jam dapat mempertahankan kompetensi oosit dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4° C.
<p>Slaughtering productive cow is commonly practiced, eventhough it is not in accordance with government program to increase livestock population in Indonesia. Ovarium from slaughtered cow contains genetic materials that have not utilized properly. The purpose of this paper is to review ovarian utilization collected from abattoir through <em>in vitro</em> fertilization technology. The best procedure of ovary preservation from abbatoir to the laboratory, oocyte collection techniques are required to produce qualified embryo. Transportation of ovary to laboratory requires proper temperature and time. Slicing method obtains high quantity and good quality of oocyte. The quality of oocytes collected from abattoir as good as those taken from live animal. Ovaries that previously as waste product can be used for <em>in vitro</em> production of embryos and livestock genetic material resources.</p>
Gestation is the main goal for <em>in vitro</em> fertilization. The embryo that has been developed outside the body will be transferred directly into uterus leading to the process of hatching, implantation, and pregnancy. However, approximately 85% of embryos that have been transferred were failed to implant and it might be caused by hatching failure. Hatching is the process of releasing embryo from zona pellucida. If this process does not occur, it will cause pregnancy failure. Assisted hatching is a mechanism that dealing with thinning, slicing or artificially making holes in the zona pellucida to improve hatching. The process can be applied both in fresh or frozen embryos. This review describes various methods in assisted hatching such as enzymatic, chemical, mechanical, and laser beam as well as their advantages and disadvantages. Generally, some researches show that the technology of assisted hatching can improve the percentage of hatching and implantation of the embryo. However, in spite of the benefits, there are such weaknesses find in the zona pellucida of the embryo that has been manipulated such as toxic hazard medium, the risk of damage to the blastomeres or monozygotic twinning. Therefore, it is advisable to perform assisted hatching in certain cases that tends to face obstacles during the process of hatching such factors as age, embryo quality, the thickness of the zona pellucida and the number of failures in the <em>in vitro</em> fertilization program.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.