<span id="docs-internal-guid-04817bc0-7fff-6dfb-b925-c471a7a0bc04"><span>Membangun generasi yang tangguh di tengah derasnya arus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya membutuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, tetapi juga sinergi yang baik dalam lingkup generasi itu sendiri tanpa adanya bias gender. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi isu kesetaraan gender dalam pembelajaran IPS sebagai upaya membangun generasi tangguh. Melalui studi pustaka, kajian ini berusaha memaparkan potret kesetaraan gender di Indonesia dan pentingnya isu tersebut untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran IPS. Dengan demikian, diperoleh hasil bahwa bias gender masih banyak ditemui di berbagai sektor, sehingga perjuangan akan kesetaraan gender masih harus melalui jalan yang panjang. Oleh karena itu, pembelajaran IPS menjadi sarana formal untuk menyuarakan pentingnya kesetaraan gender, sebuah realita yang harus diwujudkan guna mengoptimalkan lahirnya generasi tangguh dan generasi emas Indonesia di masa depan.</span></span>
The Palagan Tumpak Rinjing Monument is a symbol of preserving memory for the events of the 1949 Physical Revolution in Pacitan Regency. In general, this research aims to describe the historical narrative behind the construction of the Palagan Tumpak Rinjing Monument and collective memory of 1949 Physical Revolution symbolized in the monument. This study uses a qualitative method, in which the researcher collects information through interview with relevant informants by purposive sampling technique and studies of some supporting literature. The results showed that the events behind the construction of the Palagan Tumpak Rinjing Monument was local people's resistance to the Dutch troops during Physical Revolution in several parts of Indonesia. However, the monument that was built three decades after the incident displays the icons of General Soedirman and B. S. Riyadi. It then affects the formation of collective memory of the people who tend to forget the role of local fighters and see the big man as central figures who contributed to heroic events around them. KEYWORDS collective memory; monument; Pacitan ABSTRAKMonumen Palagan Tumpak Rinjing adalah simbol pemelihara ingatan atas peristiwa Revolusi Fisik tahun 1949 di Kabupaten Pacitan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan narasi sejarah di balik pembangunan Monumen Palagan Tumpak Rinjing dan ingatan masyarakat Kabupaten Pacitan atas peristiwa revoluisi fisik yang disimbolkan dalam monumen tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana peneliti mengumpulkan informasi melalui wawancara terhadap informan terkait dengan teknik sampel bertujuan dan studi terhadap beberapa literatur pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peristiwa yang melatarbelakangi pembangunan Monumen Palagan Tumpak Rinjing adalah peristiwa perlawanan masyarakat lokal terhadap pasukan Belanda saat Revolusi Fisik berlangsung di beberapa wilayah Indonesia. Namun, monumen yang dibangun tiga dekade pasca peristiwa tersebut justru menampilkan ikon Jenderal Soedirman dan B. S. Riyadi. Hal tersebut kemudian mempengaruhi pembentukan memori kolektif masyarakat yang akhirnya cenderung melupakan peran pejuang lokal dan justru memandang tokoh-tokoh besar sebagai tokoh sentral yang berjasa dalam peristiwa heroik di sekitar mereka.
The revolutionary era (1945-1949) is often narrated militarily in Indonesian historiography, so that the role of women in the narrative tends to be excluded, when in fact, women also had an important role in that era. On the other hand, national historiography is still become the main reference in presenting history teaching materials. Therefore, this paper aims to analyze the text of Chapter 7 in the Indonesian History textbook for class XI semester 2 which presents material regarding the revolutionary era, whether the text has explained the role of women in it, or it is still militaristic while there have been many studies on women in the Indonesian revolutionary era. By analyzing the text based on Teun A. van Dijk's model, this paper shows that the texts presented in Chapter 7 have mentioned the role of women in it, but overall, the text is still dominated by narratives about the heroism of male figures in the military scope, especially Sudirman. This fact certainly requires an alternative considering the urgency of learning today which should provide equal space for the roles of women and men in the presentation of history learning materials.
The Open Society by Karl Popper is an idea that opposes any kind of oppression and to-talitarianism, so that what is called an open society will be realized, a society that priori-tizes freedom but remains in the corridor of law and ethics. The Open Society is an idea that opposes socialism and capitalism at the same time. As an important idea in the modern age, The Open Society Popper must be able to use in life, just like knowledge that has an axiological basis. This idea is also closely related to democracy which up-holds individual freedom while still being controlled by law. On the one hand, The Open Society can be implemented in the education democracy movement, which is then called multicultural education, with kind of values that accommodate the freedom and equality of individual rights in society. The purpose of this study is to discuss the idea of The Open Society and its relevance to historical education, especially regarding multiculturalism. This discussion was reviewed using the literature study method. The results of this analysis show that The Open Society Popper can be used as a basis for multicultural education because it gives high respect to individual freedom and opposes domination by certain groups, while still respecting the law.Open Society menurut Karl Popper adalah sebuah gagasan yang menentang segala bentuk penindasan dan totalitarianisme, sehingga akan terwujud apa yang disebut masyarakat terbuka, masyarakat yang mengutamakan kebebasan namun tetap dalam koridor hukum dan etika. Masyarakat Terbuka adalah sebuah ide yang menentang sosialisme dan kapitalisme pada saat yang bersamaan. Sebagai sebuah ide penting di era modern, The Open Society Popper harus dapat digunakan dalam kehidupan, seperti halnya pengetahuan yang memiliki landasan aksiologis. Gagasan ini juga erat kaitannya dengan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan individu dengan tetap dikendalikan oleh hukum. Di satu sisi, Masyarakat Terbuka dapat diimplementasikan dalam gerakan demokrasi pendidikan, yang kemudian disebut pendidikan multikultural, dengan nilai-nilai yang mengakomodasi kebebasan dan persamaan hak individu dalam masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah membahas mengenai gagasan The Open Society dan relevansinya dengan pendidikan sejarah, khususnya perihal multikulturalisme. Pembahasan ini dikaji menggunakan metode studi pustaka. Hasil analisis i menunjukkan bahwa The Open Society Popper dapat dimanfaatkan sebagai landasan pendidikan multikultural karena memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kebebasan individu dan menentang penguasaan oleh kelompok tertentu, dengan tetap hormat pada hukum.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.