Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, mengamanatkan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Namun kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia terutama di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan masih terbatas, dan belum ada sistem pelayanan kesehatan secara terpadu di Indonesia yang menggunakan teknologi tinggi seperti satelit tele-medisin. Bagaimana kebijakan pengembangan tele-medisin di Indonesia untuk menuju keterpaduan sistem pelayanan kesehatan secara mandiri. Dengan melakukan patok duga pada sistem tele-medisin global sebagai bahan pembelajaran, diperoleh hasil bahwa pengembangan sistem tele-medisin di Indonesia memerlukan, antara lain: sumber daya manusia yang profesional, berdedikasi, berkomitmen, dan beretika; perangkat keras dan perangkat lunak dalam sistem tele-medisin harus handal; tingkat keseriusan semua pihak yang terlibat dalam pengembangan tele-medisin; kolaborasi beberapa institusi/lembaga nasional terkait dalam pengembangan sistem tele-medisin secara terpadu; kebijakan dan peraturan yang jelas untuk mengatur pelaksanaan telemedisin termasuk keamanan data dan etika pelaksanaannya; serta political will dari pemerintah dan legislatif.
Sistem pesawat udara tanpa awak dapat digunakan untuk keperluan militer dan sipil, seperti untuk transportasi, intelijen, pengawasan, dan pengintaian, menyerang musuh, penelitian, tujuan komersial, hobi atau rekreasi, dan lain-lain. Teknologi UAS berkembang dengan cepat, sehingga berpengaruh terhadap harga penjualan yang semakin terjangkaudan pengguna sipil semakin meningkat. Pengguna UAS semakin meningkat, sehingga negara-negara membuat kebijakan tentang penggunaan UAS di wilayah udara. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian dalam kajian ini ialah bagaimana kebijakan Indonesia dalam pengaturan penggunaan dan pengoperasian UAS di wilayah udara nasional. Dengan melakukan patok duga pada kebijakan yang dilakukan negara-negara sebagai bahan pembelajaran, maka diperoleh hasil antara lain: kebijakan pengoperasian UAS dapat diatur berdasarkan klasifikasinya; pendaftaran semua UAS yang beroperasi di wilayah udara Indonesia; setiap operator UAS perlu disertifikasi; UAS kecil yang beroperasi tanpa seizin ATC perlu diatur wilayah udara yang digunakan.
UNCOPUOS dan IADC telah membuat kebijakan tentang mitigasi sampah antariksa, dan diharapkan agar negara-negara anggotanya menerapkan kebijakan ini. Indonesia merupakan salah satu negara anggota UNCOPUOS yang telah membuat kebijakan tentang kegiatan keantariksaan. Namun kebijakan ini masih belum cukup untuk mencegah bertambahnya populasi sampah di orbital. Dengan melakukan patok duga pada kebijakan UNCOPUOS dan IADC sebagai bahan pembelajaran, maka kebijakan yang perlu dibuat Indonesia antara lain, ialah: tidak merilis dan/atau penghancuran benda antariksa di orbit LEO atau GEO selama operasi normal, semua komponen sistem antariksa yang berpotensi pecah/meledak harus dirancang secara akurat dan sesuai dengan standar mutu, satelit atau wahana peluncur yang sudah tidak aktif atau diberhentikan pengoperasiannya harus direncanakan untuk dibuang dari orbit bumi, setiap rancang bangun wahana antariksa harus diestimasi dan diminimalkan kemungkinan tabrakan dengan benda-benda di orbit. Di samping itu, agar wahana antariksa dirancang dapat melakukan manuver untuk menghindari tabrakan dengan puing-puing kecil yang dapat menyebabkan wahana antariksa hilang kendali.
Pulau Biak dan pulau Morotai merupakan dua alternatif lokasi yang dipilih untuk lokasi bandar antariksa, karena letaknya dekat ekuator dan roket dapat diluncurkan ke arah Timur. Bandar antariksa dibangun dengan biaya yang sangat besar sehingga perlu kehatihatian dalam menetapkan lokasinya, untuk itu perlu dikaji tingkat risiko dalam mewujudkannya. Kajian ini mengkaji tingkat risiko di masing-masing lokasi tersebut, dan melakukan komparasi tingkat risiko di kedua lokasi tersebut untuk mengetahui lokasi dengan tingkat risiko terkecil. Menggunakan analisis risiko, diperoleh bahwa ada perbedaan tingkat risiko antara mewujudkan bandar antariksa di pulau Biak dan di pulau Morotai. Dari sebelas variabel risiko yang digunakan terdapat tujuh variabel yang berbeda, dan pulau Biak memiliki tingkat risiko lebih besar dari pada di Morotai. Berdasarkan hasil komparasi diperoleh bahwa lokasi di pulau Morotai lebih baik dari di pulau Biak, karena total nilai tingkat risikonya lebih kecil. Total nilai tingkat risiko di Morotai ialah 69, sedangkan total nilai tingkat risiko di Biak ialah 108.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.