Pembahasan dan pengkajian secara teoretis normatif mengenai pembaruan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana berkaitan dengan pembaruan dalam subsistem substansi dari hukum pidana, serta merupakan pembangunan dalam sistem hukum Indonesia yang berorientasi pada perlindungan terhadap masyarakat. Salah satu usaha rasional yang digunakan untuk menanggulangi aktivitas prostitusi online adalah dengan pendekatan kebijakan hukum pidana melalui formulasi sanksi pidana sebagai wujud konkret pertanggungjawaban pidana pada pelaku prostitusi online. Belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana kepada para pengguna jasa dalam kasus prostitusi online menyebabkan tidak maksimalnya penanggulangan prostitusi online itu sendiri. Apabila tidak ada pengaturan nasional yang mengatur tentang hal tersbut, maka para pengguna jasa prostitusi online akan merasa aman dan tetap leluasa membeli jasa untuk kepuasan mereka semata dan termasuk perempuan yang memberikan jasa layanan seks komersil (PSK), sementara hal tersebut bertentangan dengan berbagai aspek norma terutama norma kesusilaan dalam masyarakat sebagai salah satu pengejewantahan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu diperlukan pembaruan hukum pidana, berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana baik itu bagi para pengguna jasa prostitusi online maupun perempuan yang memberikan jasa layanan seks komersil (PSK). Dengan demikian, tulisan ini mengkaji mengenai aktualisasi nilai-nilai pancasila melalui reformulasi pertanggungjawaban pidana dalam kasus prostitusi online.
<p>Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis esensi keberadaan UU Narkotika dan <em>ratio legis</em> Pasal 103 UU Narkotika. Secara faktual, terdapat beda tafsir dan beda pendapat antara penegak hukum tentang penerapan UU Narkotika. Hal ini terbukti pada putusan pengadilan, yang menjatuhkan putusan pidana penjara dan rehablitasi, walaupun pidana penjara lebih besar jumlahnya. Beda tafsir antara penegak hukum mengakibatkan belum tercapainya tujuan diberlakukannya UU Narkotika berkaitan dengan penyalahguna narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (<em>Statute Approach</em>). Analisis terhadap rumusan masalah dilakukan secara preskriptif dengan menggunakan penafsiran Gramatikal dan penafsiran Sistematis. Ketentuan hukum yang dianalisis adalah UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan. Kesimpulan dari artikel ini menunjukkan bahwa Pasal 103 UU Narkotika mengandung unsur <em>ratio legis</em> yang tepat untuk dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum untuk memberikan atau menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Fakta lain menunjukkan bahwa penjatuhan pidana penjara terhadap penyalahguna narkotikaternyata kurang efisien karena tidak mampu menimalisasi jumlah penyalahguna narkotika. Penjatuhan pidana penjara terhadap penyalahguna narkotika dinilai tidak tepat.</p>
The purpose of this article is to analyze the investigation authority of the Corruption Eradication Commission (KPK) on the counteraction case of corruption justice process. The reason for the writing is the existence of different interpretation of the authority of the KPK Investigator to conduct an investigation on the counteraction case of justice process in Article 21 of Law No. 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption Law junto Law No. 20 of 2001 concerning Amendment to Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of the Corruption (the Law of Corruption Act). The analysis method of the problem formulation applies Grammatical Interpretation, Systematic Interpretation, and Teleological Interpretation. The legislation analyzed, besides the Anti-Corruption Law, is the Decree of the People’s Consultative Assembly of the Republic of Indonesia Number XI / MPR / 1998 concerning State Administrators that are clean and free of corruption, collusion, and nepotism; also Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission junto Law Number 10 of 2015 concerning the Establishment of Government Regulations in lieu of Law Number 1 of 2015 concerning Amendments to Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission. The conclusion of this article is that the KPK Investigator is not authorized to conduct an investigation on the counteraction case of corruption justice process.
The object of this research is the implementation /action network Judicial Commission related to the handling of cases of corruption by judges in an area that has not been optimal. Keywords : network, action, monitoring, unit complain, Judicial Commission AbstrakObjek penelitian ini adalah pelaksanaan/aksi jejaring Komisi Yudisial terkait penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh hakim di daerah yang selama ini belum optimal. Hal tersebut disebabkan adanya permasalahan mengenai pengaturan standarisasi proses pemantauan penanganan perkara Tipikor di daerah bagi jejaring KY dan mengenai keberadaan unit aksi jejaring KY di daerah belum menjadi unit yang 'mapan' dan mampu bersinergi dengan pihak-pihak pemangku kepentingan (stake holder). Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan metode observasi pada fakta di lokasi penelitian dan data/perkara Tipikor yang dimiliki KY sebagai dasar pencarian hasil penelitian berupa 'tindakan/aksi' yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga desain dan metodenya merupakan perpaduan antara metode penelitian hukum dan metode penelitian sosiologis. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dalam aksinya, jejaring KY belum terkoordinasi, belum ada standarisasi proses pemantauan perilaku Hakim dalam penanganan perkara, serta belum adanya sinergi antara jejaring KY dengan pemangku kepentingan
The vocational training center (Balai Latihan Kerja/BLK) has great potential to improve the quality of Indonesian workers. The existence of this BLK is increasingly strategic with the support of the government. This can be seen from the large number of BLKs scattered in each regency city in Indonesia. However, now the conditions of the BLK are very concerning, both in terms of the effectiveness of the use, the quality of the Training Center and the use of the BLK function. On the other hand, the condition and quality of Indonesian Migrant Workers (BMI) is very alarming. Based on research by the Center for Regional Studies of the University of Brawijaya, it was found that the majority of them did not have the skills needed in the destination country. This is compounded by their lack of knowledge about market analysis of needs (skills) in the destination country. From this fact, there is no link and match between migrant workers and the BLK of each region. This study aims to find a model that can minimize the weakness of handling migrant workers and increase their work productivity
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.