Blow out fracture merupakan fraktur yang melibatkan dinding orbita terutama dinding medial dan atau lantai orbita yang disebabkan dari peningkatan tekanan intraorbita mendadak. Blow out fracture merupakan fraktur orbita yang paling sering terjadi akibat jatuh, perkelahian, kecelakaan lalu lintas atau cedera olahraga. Tanda dan gejala yang dapat muncul karena blow out fracture adalah enoftalmos, diplopia, dan gangguan gerak bola mata. Diagnosis blow out frakture ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan computerized tomography scanning. Tindakan bedah rekonstruksi menggunakan implan dilakukan jika didapatkan adanya herniasi volume isi bola mata, fraktur lantai orbita >1 cm,  muscle entrapment, diplopia, enoftalmus dan keterbatasan gerakan bola mata. Dilaporkan satu kasus fraktur blow out dekstra yang ditatalaksana rekonstruksi dengan menggunakan titanium mesh plate dan screws melalui pendekatan insisi luka infra orbita. Fraktur ini terjadi akibat benturan objek dari luar yang mengenai orbita atau rim orbita yang mengakibatkan peningkatan tekanan intraorbita. Tekanan intraorbita mendorong organ intraorbita ke sekelilingnya termasuk ke lantai orbita yang rapuh sehingga terjadi herniasi ke inferior.Kata kunci: blow out fracture, fraktur orbita, mesh titanium, trauma fasial

Abses subperiosteal merupakan salah satu komplikasi dari rinosinusitis baik akut ataupun kronis. Beberapa faktor sangat berperan sebagai penyebab penyebaran rinosinusitis ke orbita. Diagnosis rinosinusitis kronik dengan komplikasi abses periorbita ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, nasoendoskopi, tomografi komputer serta Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penatalaksanaan rinosinusitis kronis dengan komplikasi abses subperiosteal adalah pemberian medikamentosa antibiotik intravena spektrum luas atau kombinasi, dekongestan, kortikosteroid sistemik disertai dengan tindakan operatif yaitu pendekatan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). Dilaporkan satu kasus rinosinusitis kronis dengan komplikasi abses subperiosteal kiri pada laki-laki umur 40 tahun dan telah dilakukan perawatan dan dilanjutkan dengan pembedahan melalui pendekatan BSEF. Rinosinusitis kronik dengan komplikasi abses subperiosteal dapat ditatalaksana dengan terapi antibiotik dan pembedahan. Keterlambatan penanganan mempengaruhi tingkat kerusakan. Penanganan dengan antibiotik yang adekuat dan BSEF memberikan prognosis yang baik pada pasien.Kata kunci: abses subperiosteal, BSEF, rinosinusitis kronik

Nasopharyngeal carcinoma (NFC) is a malignancy that come from the nasopharyngeal epithelial cell which is that distribution has been affected by geographic and ethnicity. NFC is caused by multifactorial causes, one of the is Epstein Barr Nuclear Antigen-1 (EBNA-1). EBNA-1 affects some of the signalling pathways, including cell proliferation, invasion, survival, and DNA Repair. This study aimed to know the correlation between EBV (EBNA-1) DNA with NFC incidence in Minangkabau Ethnicity. This study is analytic observational with a cross-sectional comparative study. Twenty-two plasmas of the NFC patients with Minangkabau ethnicity compared with 22 plasma of NPC patients with non-Minangkabau ethnicity as control, which matched their sex and age (±3 years). EBNA-1 level expression was checked with quantitative real-time PCR (qPCR) methods to check the DNA targeting EBNA-1 from the EBV genome. The data was then analyzed with Saphiro Wilk for normality and continued with the LG10 transformation test. They are then finalized with Mann-Whitney for the two groups. The average expression level of the EBNA-1 in NFC patients is higher than the control's plasma in Minangkabau ethnicity but not statistically significant.