Background Molluscum contagiosum (MC) is a benign disease of the skin and mucous membrane caused by a poxvirus. To date, there is no standard therapy used for the treatment of MC. Using 10% of potassium hydroxide (KOH) once or twice a day and 20% KOH once a day are often applicable to MC lesions both in children and adults. Nevertheless, the usage of 20% KOH twice a day still has not been reported. Purpose This case series aimed to show the efficacy and side effects of once- or twice-daily application of 20% KOH solution for MC lesions due to sexually transmitted infections (STIs) in adults. Patients and Methods Three cases of MC on the genital were applied once or twice daily and one case of MC on the face was applied twice daily using 20% KOH solution. Results As a result, the application of 20% KOH twice daily showed the improvement of MC lesions on the face on day 7 and MC lesions on the genital on day 20. Meanwhile, once-daily application of 20% KOH showed diminished MC lesions on genital on day 25–31 after treatment. There were tolerable side effects that occurred in this treatment, such as stinging and burning sensation several minutes after application, erosions, and post-inflammatory hypo- and hyper-pigmentation. Conclusion The 20% KOH solution twice daily on MC lesions in adults is effective, practical, and inexpensive.
Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. World Health Organization (WHO) pada tahun 2016 menyatakan terdapat lebih dari 1 juta orang menderita IMS setiap hari. IMS memiliki pengaruh yang sangat besar pada kesehatan seksual dan reproduktif di seluruh dunia. Komplikasi dari IMS dapat menyebabkan kemandulan, gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker, dan memudahkan seseorang terkena infeksi human immunodeficiency diseases (HIV). Tingkat pengetahuan masyarakat diketahui berkorelasi dengan tingginya kejadian IMS di masyarakat khususnya remaja. Peningkatan pengetahuan dengan penyebaran informasi seperti kegiatan penyuluhan tentang IMS dan komplikasinya merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan untuk mengurangi angka kejadian IMS di masyarakat. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PPM) berupa penyuluhan ini dilakukan di SMA Negeri Jatinangor, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Peserta penyuluhan yaitu siswa dengan total peserta 50 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Setiap lembar kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan, yang meliputi definisi, jenis-jenis penyakit, cara penularan, tanda dan gejala, komplikasi, dan pencegahan IMS. Tingkat pengetahuan seluruh siswa SMA tentang IMS dan komplikasinya sebelum dilakukan penyuluhan masih cukup, yaitu 38,2% pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar oleh peserta penyuluhan. Penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang jenis-jenis penyakit IMS dan komplikasinya. Siswa SMA diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam penyebaran informasi penyuluhan pada keluarga dan masyarakat, sehingga dapat menurunkan angka kejadian dan penularan IMS pada masyarakat.
Ingrowing toenails (IT) is puncture of periungual skin by its surrounding nail plate. IT most frequently occurs in males aged 10-30 years. Pathogenesis of IT is multifactorial. Patients most commonly present with toe pain and may also complain erythema, swelling, or discharge from the nail edge. The clinical presentation of IT has been divided into three stages; stage I or inflammatory stages, stage II or abcess formation, and stage III or granulation tissue formation. IT is a nail disease with high reccurences that commonly seen in daily practice. Several treatment approaches ranging from conservative therapy (gutter splint) to surgical treatment (decompression technique). We report a case of IT in a 13-year-old boy that treated with decompression and gutter splint technique. The combination of this technique provides good results for IT and there was no recurrences after two months of observation.
Dermatofibroma merupakan tumor jinak dengan predileksi pada tungkai bawah. Lesi dapat berupa papul atau nodul, soliter atau multipel, dan berwarna merah muda hingga kecoklatan. Dermatofibroma biasanya asimtomatis, meskipun beberapa lesi mungkin terasa gatal atau nyeri. Kelainan kulit ini terutama dibentuk oleh kolagen dan fibroblas yang tersusun tidak teratur. Dermatofibroma asimtomatis tidak memerlukan terapi. Namun, pada kasus simtomatis dan lesi yang sering mengalami trauma diperlukan terapi. Salah satu terapi dermatofibroma berupa injeksi steroid intralesi. Dilaporkan sebuah kasus dermatofibroma pada seorang laki-laki usia 39 tahun dengan keluhan kulit berupa nodul eritematosa yang kadang terasa gatal. Pemeriksaan dermoskopi, menunjukkan gambaran peripheral pigment network dan central white area, serta pemeriksaan histopatologis mendukung diagnosis dermatofibroma. Pasien diterapi dengan injeksi triamsinolon asetonid (TA) 10 mg/ml intralesi, perbaikan klinis mulai tampak satu minggu setelah terapi berupa lesi kulit menjadi lebih kecil dan hilangnya gatal. Setelah 7 minggu terapi, lesi kulit menjadi rata dan meninggalkan bercak hiperpigmentasi. Dermatofibroma simtomatis yang diterapi dengan injeksi TA intralesi memberikan hasil yang baik.Kata kunci: dermatofibroma, injeksi intralesi, kortikosteroid, triamsinolon asetonid
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.