Dalam menyelami Yohanes 9, potret orang-orang Farisi merupakan suatu topik yang sering diabaikan karena para ahli kerap kali menjadikan orang buta sejak lahir sebagai fokus utama. Artikel ini merupakan sebuah tinjauan biblis yang berusaha mengkaji potret orang-orang Farisi yang ditampilkan dalam Yohanes 9. Penulis berpendapat bahwa potret orang-orang Farisi dalam Yohanes 9 dapat dikategorikan sebagai sekelompok orang yang memiliki narsisisme beragama. Gagasan tersebut diperoleh oleh penulis dengan melakukan kajian konteks sosio-historis Injil Yohanes, potret orang-orang Farisi dalam keseluruhan Injil Yohanes, konflik keagamaan antara orang-orang Farisi dengan orang buta sejak lahir yang menghasilkan pengusiran terhadap orang buta tersebut, dan kecaman Yesus terhadap orang-orang Farisi yang merasa melihat, namun sebetulnya buta. Pada bagian akhir dari tulisan ini, penulis menyimpulkan artikel ini dengan membuat suatu penilaian terhadap hasil kajian biblis ini berdasarkan perspektif psikologis mengenai narsisisme yang menunjukkan bahwa potret orang-orang Farisi dalam Yohanes 9 sangat cocok dengan ciri-ciri narsisisme, khususnya dalam konteks beragama.
Ketika menyoroti kesatuan Bapa dan Anak dalam narasi Injil Yohanes, para ahli cenderung melewatkan Yohanes 6:60-71. Bagian ini memotret kesatuan Bapa dan Anak yang memiliki implikasi teologis yang signifikan bagi konsep soteriologi dan eklesiologi gereja. Penulis berpendapat bahwa Yohanes 6:60-71 menggambarkan kesatuan Bapa dan Anak dalam pemilihan para murid. Pandangan ini mengimplikasikan bahwa keselamatan dan persekutuan orang percaya merupakan karya Bapa dan Anak. Penulis melakukan kajian mengenai beberapa aspek: konteks sejarah Injil Yohanes dan kesusastraannya, termasuk kajian atas struktur Injil tersebut, eksegese Yohanes 6:60-71, implikasi teologisnya mengenai kesatuan Bapa dan Anak. Pada akhirnya, tulisan ini disimpulkan dengan sebuah gagasan bahwa keselamatan dan kehidupan persekutuan orang percaya merupakan karya Bapa dan Anak sebagaimana yang digambarkan dalam Yohanes 6:60-71.
Abstract This article focuses on the portrait of Jesus as depicted by the Johannine community according to John 9. Exploring the perspectives of Johannine scholars, the historical context of the Gospel of John, and the image of Johannine faith community, this study suggests that a born-blind man is a symbolic figure of the marginalized Johannine community. The marginalization is caused by the conflict between the blind man and the Pharisees, starting with Jesus’ violation of the Sabbath’s rule, and followed by identity conflict concerning Jesus and Moses. The epilogue of John 9 implies a portrait of Jesus as the Mediator through his actions to embrace the blind man following his expulsion. This article concludes with a theological implication concerning the presence of Jesus in the struggle of contemporary marginalized people such as GKI Yasmin and HKBP Filadelfia. Abstrak Artikel ini menyoroti gambaran Yesus yang dikonsepkan oleh komunitas iman Yohanian menurut Yohanes 9. Melalui penelusuran terhadap pandangan para ahli Yohanian, konteks historis Injil Yohanes, dan gambaran komunitas iman Yohanian, kajian ini menemukan bahwa orang buta sejak lahir dalam Yohanes 9 ini adalah tokoh simbolis dari komunitas iman Yohanian yang termarginalisasi. Marginalisasi tersebut disebabkan oleh konflik antara orang buta dan orang-orang Farisi yang dipicu oleh pelanggaran Yesus atas hari Sabat, lalu berkembang menjadi konflik identitas mengenai Yesus dan Musa; karenanya, mengakibatkan orang buta yang Yesus sembuhkan tersebut termarginalisasi dari sinagoge. Epilog Yohanes 9 menyiratkan potret Yesus sebagai mediator melalui tindakannya merengkuh orang buta tersebut setelah pengusirannya. Sebagai simpulan, artikel ini menyodorkan implikasi teologis tentang kehadiran Yesus dalam pergumulan umat masa kini yang termarginalisasi, seperti GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia.
Tulisan ini merupakan sebuah kajian yang berusaha menggali konsep penggembalaan dan relasinya dengan ekaristi dalam Yohanes 21:15-19. Dengan menggunakan pendekatan eksegetis, penulis mencoba menyoroti kata demi kata, baik secara etimologis maupun konteks, serta melakukan survey Injil Yohanes secara komprehensif, agar dapat melihat secara luas mengenai Injil yang dirujuk, dan kemudian berfokus seputar Yohanes 21 mengenai dialog antara Yesus dan Petrus, dengan mengoneksikannya dengan konteks dekat, yaitu Yohanes 21:1-14 dan Yohanes 21:20-23, maupun konteks jauh, yaitu keseluruhan Injil Yohanes. Selain itu, dalam tulisan ini penulis melakukan beberapa kritik terhadap beberapa pandangan lama yang dinilai sudah tidak relevan, sehingga mengganggu pemaknaan teks yang dirujuk. Pada akhirnya, penulis mengonstruksi penggembalaan dengan ekaristi, sehingga dapat ditemukan sebuah pemahaman baru akan penggembalaan sebagai sebuah praktik dari ekaristi, yakni penggembalaan bukan sekedar praktik gerejawi atau kepemimpinan semata, melainkan sebuah kerelaan memberikan seluruh aspek kehidupan, bahkan nyawa untuk kehidupan domba-dombanya, dengan berbasis pada kematian Kristus yang menghidupkan orang percaya, sebagaimana perintah Yesus bagi Petrus dalam Yohanes 21:15-19.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.