Orang dengan Schizophrenia (ODS) dicirikan dengan lemahnya pengendalian diri atas tingkah lakunya yang telah dikuasai oleh gejala positif dan negatifnya. Akibatnya, ODS mengalami kesulitan untuk mempertahankan kedudukannya di masyarakat. ODS kehilangan pekerjaan, diisolasi, renggangnya relasi sosial, dan tergantung pada orang lain. Pokok bahasan penelitian ini terletak pada peningkatan kemampuan pengendalian diri untuk mengembalikan pemulihan ODS seperti sebelum mengalami Schizophrenia melalui pemanfaatan kelompok dukungan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang mampu mendeskripsikan tentang elemen pokok pengendalian diri yang diperoleh ODS agar dapat berfungsi kembali di masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik purposive samping untuk memilih lima orang ODS sebagai informan penelitian ini. Teknik pengumpulan data mempergunakan wawancara mendalam (in-depth interview), observasi, dan studi dokumentasi. Penelitian ini berlokasi di Komunitas Peduli Schizophrenia Indonesia (KPSI) sebagai salah satu kelompok dukungan di Jakarta. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kunci pengendalian diri ODS terbagi menjadi dua besaran yaitu pengendalian diri atas pikiran dan pengendalian diri atas emosi. Pengendalian diri atas pikiran meliputi mengenali kelemahan, kepekaan terhadap lingkungan, berpikir logis terhadap halusinasi dan delusi, beraktivitas, dan memperbaiki cara pandang. Pengendalian emosi meliputi kemampuan mendeteksi tekanan pemicu depresi, berpikir positif atas stigma, mengendalikan kecemasan, mengakui dan menerima identitas diri. Kemampuan pengendalian diri, menjadi syarat ODS kembali pulih agar siap memasuki lingkungan sosialnya. Kata Kunci: kelompok dukungan, pengendalian diri, orang dengan Schizophrenia.
Self-stigma experienced by people who experience schizophrenia has influence on reduced self-esteem, on powerlessness, the weakening of hope, and a motivation towards recovery. The aim of this study is to explain the efforts of people suffering schizophrenia to manage their self-stigma through self-control, using a case study approach. Based on the purposive sampling technique, five people with schizophrenia were selected as the cases to be studied. Data collection techniques utilized in-depth interviews, observation, and documentary studies. The analysis of the study data employed the stages of data reduction, data display, and data verification. Improvement in study quality employed the triangulation of data sources by checking the data to determine its consistency. The results of this study indicate that people with schizophrenia who have the ability to self-control can overcome self-stigma through changes in the manner of viewing themselves, self-training through activities, having endurance, having an honest approach, being able to explain schizophrenia from a positive viewpoint, having initiative, and having a positive attitude and the courage to face challenges.
Intervensi bidang kesehatan jiwa menggunakan pendekatan multiprofesi, dan salah satunya adalah melibatkan pekerjaan sosial. Diterbitkannya UU No. 14/2019 tentang Pekerja Sosial beberapa tahun lalu, menjadi momentum bagi pekerja sosial untuk berpraktek mandiri di masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, maka, penelitian ini difokuskan tentang intervensi pekerjaan sosial berbasiskan assessment biopsikososial untuk mendukung keberfungsian sosialnya. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Informan penelitian yang dipilih berjumlah tiga orang mewakili kasus yang berbeda. Hasil penelitian yang diperoleh, pertama, pada kluster 1 fokus intervensi adalah pada pembentukan perilaku patuh minum obat; kedua, pada kluster 2 fokus intervensi pada aspek mental seperti penerimaan diri, berdamai dengan skizofrenia, dan kenyamanan diri; ketiga, difokuskan pada pengembangan minat yang mendukung kemandirian orang dengan skizofrenia. Kesimpulan penelitian, intervensi pekerjaan sosial bersifat berjenjang dan diprioritaskan sesuai dengan perkembangan setiap klusternya dengan penekanan pada penguasaan perilaku yang searah dengan keberfungsian sosialnya.
Abstract. The reintegration of people with schizophrenia to return to society often has to experience obstacles due to repeated relapses caused by multiple factors such as non-adherence to medication or certain social pressures that trigger the emergence of schizophrenia symptoms. The implications of recurrence are closely related to the decrease in the ability to carry out social functions, so they have the potential to lose their jobs, cannot continue their education, and have estranged social relations. There is a phenomenon that several people with schizophrenia who have had recurrent experiences can reintegrate into their social environment. Therefore, this study aims to describe the process of reintegration of people with schizophrenia who experience repeated relapses into society. The research method used is qualitative, with a case study approach on four people with schizophrenia living in four locations in Jakarta. The results of this study indicate that the two elements are operational and interrelated with each other. First, the main element is the individualistic internal process of people with schizophrenia which includes aspects of spirituality, cognition, and mental and social. Second, the enabling element, namely friends/friends and family who work to increase the chances of people with schizophrenia regaining self-stability to reintegrate into their social environment. Success in the social reintegration process allows people with schizophrenia to carry out their social functions as members of society, such as working, having a family, interacting naturally, and overcoming the fear of stigma and discrimination. Keywords: Relapse, Reintegration, People with Schizophrenia. Abstrak. Reintegrasi orang dengan skizofrenia untuk kembali ke masyarakat seringkali harus mengalami hambatan akibat kekambuhan berulang yang disebabkan oleh multifaktor seperti ketidakpatuhan minum obat atau tekanan sosial tertentu sehingga memicu munculnya gejala skizofrenia. Implikasi kekambuhan sangat erat kaitannya dengan penurunan kemampuan melaksanakan fungsi sosialnya sehingga berpotensi kehilangan pekerjaan, tidak dapat melanjutkan sekolah, dan kerenggangan hubungan sosial. Terdapat fenomena sejumlah orang dengan skizofrenia yang memiliki pengalaman kambuhan, ternyata mampu terintegrasi kembali dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang proses reintegrasi orang dengan skizofrenia yang mengalami kekambuhan berulang ke masyarakat. Metode penelitian yang dipergunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada empat orang dengan skizofrenia yang berdomisili di empat lokasi berbeda di Jakarta. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat dua elemen yang beroperasional serta saling berkaitan satu sama lain. Pertama, elemen utama yaitu proses internal orang dengan skizofrenia yang bersifat individualistik yang meliputi aspek spiritualitas, kognisi dan mental, serta sosial. Kedua, elemen pemungkin yaitu teman/sahabat dan keluarga yang bekerja untuk memperbesar peluang orang dengan skizofrenia meraih kembali stabilitas diri agar mampu terintegrasi kembali dengan lingkungan sosialnya. Keberhasilan dalam proses reintegrasi sosial memungkinkan orang dengan skizofrenia mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya sebagai anggota masyarakat seperti bekerja, berkeluarga, berinteraksi secara wajar dan mampu mengatasi ketakutan stigma dan diskriminasi. Kata kunci: Kekambuhan, Reintegrasi, Orang Dengan Skizofrenia.
Early marriage has a correlation with women's powerlessness to decide autonomously the best choice for themselves and their future. Based on the identification results, the root of the problem stems from two factors, first, the dominance of parents in making choices by leaving only minimal space for women to fight for their choices; second, cultural hegemony which is rooted in the myth that if a woman refuses a man's proposal, her future mate will be difficult. The main focus of this research is on women's autonomy to make decisions to remarry after divorce due to early marriage. The method used is descriptive qualitative using in-depth interviews, observation, and documentation studies as data collection techniques. Based on the purposive sampling technique, five husband and wife pairs were obtained, namely, pairs A and A1, pairs B and B1, pairs C and C1, pairs D and D1, and pairs E and E1. The results of this study indicate that women have autonomy in making decisions to remarry without feeling intimidated by their social status as widows. Her position is very strong to accept or reject the offer of a man who asked her to marry based on logical considerations. The conclusion obtained is that the autonomy to make the decision to remarry is influenced by factors of maturity, insight, experience, and social relations.Keywords: Autonomy, Women, early-age-marriage
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.