Introduction: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a lymphoepithelial malignancy of the nasopharynx, one of the etiologies is the infection of Epstein–Barr virus in undifferentiated type of nasopharyngeal carcinoma. The Epstein-Barr virus Nucleus Antigen-1 (EBNA-1) is Epstein–Barr virus-encoded proteins as regulatory virus transcription. Epithelial Growth Factor Receptor (EGFR) consist of a single polypeptide chain of amino acid, ErbB members, tyrosine kinase receptor, a transmembrane glycoprotein encoded by gen location in the short arms of a chromosome and overexpression in epithelial tumors. EGFR plays a central role in signal transduction pathways which regulate key cellular functions in epithelial malignancies. and may also present in NPC. Objective: To investigate this relation of expression patterns of EBNA-1 and EGFR in a histological type of undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Method: Observational, analytical study with a cross-sectional method of 34 formalin-fixed within inclusion criteria are EBNA-1 and positive staining of EGFR expression (30 patients) and exclusion criteria of negative staining of EGFR (4 patients). All biopsy samples work with paraffin embedded and resulted in hematoxylin-eosin undifferentiated histological types of the advanced stage in nasopharyngeal carcinoma. EBNA-1 and EGFR expression used immunohistochemistry staining. Result: EBNA-1 and EGFR expression level were detection and correlated with the advanced stadium of nasopharyngeal undifferentiated carcinoma. Conclusion: EBNA-1 is significantly related to EGFR expression in the advanced stadium of undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Overexpression of EGFR is mostly found in advanced NPC but not in all ages. Male is dominated and overall age below 55 years old. Screening of EGFR with immunohistochemistry is highly considered before anti-EGFR treatment
Latar belakang: Neuropati adalah salah satu komplikasi yang paling sering dari Diabetes Melitus(DM) tipe 2. Disamping neuropati perifer dan otonom, pasien dengan DM tipe 2 juga dapat menderitagangguan pendengaran tipe sensorineural hearing loss (SNHL) pada frekuensi tinggi. Pada studi inihubungan HbA1c dengan hasil pemeriksaan brainstem evoked response audiometry (BERA) dan transient evoked otoacoustic emissions (TEOAE) digunakan untuk mendeteksi neuropati akustik dan sentral pada pasien DM tipe 2. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar HbA1c pada DM tipe 2 dengan masa laten gelombang BERA dan respon TEOAE. Metode: Desain penelitian cross sectional study, dilakukan dari Maret 2018 hingga jumlah sample terpenuhi. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi pasien DM tipe 2 dengan profil kadar HbA1c, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan TEOAE dan BERA. Hasil: Dari hasil pemeriksaan BERA terdapat hubungan signifikan antara HbA1c dengan masa laten gelombang BERA di intensitas 70 dB dan 80 dB kecuali latensi antar-puncak I-V, tetapi tidak berhubungan signifikan pada intensitas 90 dB. Didapatkan pada pemeriksaan TEOAE di telinga kanan kadar HbA1c berhubungan dengan hasil pemeriksaan TEOAE kategori refer rata-rata 8,67+1,14%, sedangkan pasien dengan hasil pemeriksaan TEOAE kategori pass rata-rata 7,73+0,95%. Hasil uji t test didapatkan nilai p=0,021 (p<0,05). TEOAE di telinga kiri kategori refer rata-rata 8,82+1,09%, sedangkan pasien dengan hasil pemeriksaan TEOAE kategori pass rata-rata 7,66+0,88%. Hasil uji t test didapatkan nilai p=0,003 (p<0,05). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar HbA1c dengan hasil pemeriksaan gelombang BERA dan TEOAE. Background: Neuropathy is complication of type 2 diabetes mellitus (DM). Besides peripheraland autonomic neuropathy, patients with type 2 DM may also have sensorineural hearing loss at highfrequency. In this study the association of HbA1c level with the results of BERA and TEOAE tests was used to detect acoustic and central neuropathy in type 2 DM patients. Objective: To find out the relationship of HbA1c level in type 2 DM with BERA and TEOAE. Method: Research design cross sectional study, conducted from March 2018 until the number of samples fulfilled. The study began by identifying patients with type 2 DM with the HbA1c profile, followed by TEOAE and BERA examinations. Result: There was a significant relationship between HbA1c and the latent period of waves at the intensity of 70 dB and 80 dB except on the interpeak I-V latency, but not significantly related to the 90 dB intensity. Results of TEOAE test in the right ear: the average levels of HbA1c with refer category results on TEOAE test was 8.67+1.14 %, whereas patients with pass category results on TEOAE was 7.73+0.95 %. The result of t test value was p=0.021 (p<0.05). TEOAE on the left ear: average refer category 8.82+1.09%, whereas patients with TEOAE examination results in the mean pass category 7.66+0.88%. The result of t test value was p=0.003 (p<0.05). Conclusion: There was a statistical significant relationship between HbA1clevel and BERA and TEOAE.
Latar Belakang: Otomikosis merupakan infeksi jamur pada kanalis auditorius eksterna (KAE),yang terkadang dapat menimbulkan komplikasi pada telinga tengah. Walaupun jarang membahayakanhidup, tetapi penyakit ini membuat frustasi bagi pasien dan spesialis Telinga Hidung Tenggorok-BedahKepala Leher (THT-KL), karena memerlukan pengobatan dan perawatan dalam jangka waktu yanglama, serta kemungkinan adanya kekambuhan. Tujuan: Menganalisis perbandingan efektivitas larutanasam asetat 2% dalam alkohol 70% dengan ketokonazol 2% topikal pada terapi otomikosis. Metode:Penelitian eksperimental dengan desain randomized controlled trial. Subjek adalah pasien otomikosis yangsesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Penegakkan diagnosis otomikosis berdasarkan pemeriksaan jamurKOH 10%. Subjek dibagi 2 perlakuan yaitu kelompok larutan asam asetat 2% dalam alkohol 70% dankelompok ketokonazol 2% topikal. Dilakukan evaluasi klinis menggunakan skor visual analogue scale(VAS) pada gejala nyeri, gatal, telinga rasa penuh dan tinitus, serta tanda klinis dengan menggunakanotoskopi untuk otore pada hari 0, 3, dan 7. Kemudian dilakukan pemeriksaan mikologi dengan KOH 10%pada hari 0 dan 7. Hasil: Pada hari 7 tidak ada perbedaan signifikan berdasarkan skor gejala nyeri, gataldan telinga penuh, tinitus dan otore antara kelompok asam asetat 2% dibanding ketokonazol 2%, sedangpada pemeriksaan KOH 10% kelompok asam asetat 2% dalam alkohol 70% lebih efektif dibandingkelompok ketokonazol 2% topikal. Kesimpulan: Pada hari ke-7, asam asetat 2% dalam alkohol 70%tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan ketokonazol 2% topikal untuk terapi otomikosis. ABSTRACTBackground: Otomycosis is a fungal infection of the external auditory canal but can causecomplications in the middle ear. Although rarely life-threatening, it is frustrating for patients andotorhinolaryngologists, because it requires long-term treatment and care and the possibility of recurrence.Objective: To analyze the comparison of effectiveness of acetic acid 2% solution in alcohol 70% withketoconazole 2% topical in otomycosis therapy. Method: Experimental research with randomizedcontrolled trial design. Subjects were otomycosis patients of appropriate in the inclusion and exclusioncriteria. Otomycosis diagnosis based on examination of fungi with KOH 10%. Subjects were dividedinto 2 treatment groups, acetic acid 2% solution in alcohol 70% group and ketoconazole 2% topicalgroup. A clinical evaluation was performed using visual analogue scale (VAS) scores on symptoms ofpain, itching, full ears and tinnitus, and clinical signs using otoscopy for otorea on day 0, day 3 andday 7. Mycological examination with KOH 10% was also performed on days 0 and 7. Result: On the 7 thday there is no significant difference based on symptoms of pain, itching, full ears, tinnitus and otoreabetween the acetic acid 2% in alcohol 70% group and the ketoconazole 2% topical group . There wasa significant effectiveness (p <0.05) from the results of mycological examination with KOH 10% in theacetic acid 2% in alcohol 70% group compared with the ketoconazole 2% topical group. Conclusion:On the 7 th day, there was no significant difference between acetic acid 2% in alcohol 70% and topicalketoconazole 2% for otomycosis therapy.
<p class="Abstract">ABSTRAK</p><p class="AbstractNormal"><strong>Pendahuluan: </strong>COVID-19 merupakan infeksi yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Prevalensi kasus COVID-19 di Indonesia pada akhir tahun 2020 mencapai 750.000 kasus dan terus meningkat hingga saat ini. Manifestasi klinis yang dialami oleh pasien COVID-19 cukup beragam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran klinis telinga hidung tenggorokan (THT) pasien SARS CoV-2 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.</p><p class="AbstractNormal"><strong>Metode:</strong><strong> </strong>Penelitian <em>cross-sectional </em>melibatkan 316 pasien terkonfirmasi SARS-CoV-2 positif di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah selama April sampai Juni 2021. Dilakukan pemeriksaan PCR untuk melihat status infeksi SARS-CoV-2 dan anamnesis untuk melihat gambaran klinis telinga hidung tenggorokan pasien menggunakan kuesioner. Data univariat dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.</p><p class="AbstractNormal"><strong>Hasil:</strong><strong> </strong>Secara umum, distribusi empat gejala THT terbanyak pada pasien terinfeksi SARS-CoV-2 berturut-turut adalah nyeri tenggorok (21.52%), hilang penciuman (11.71%), hilang rasa pengecapan (10.44%), dan hidung tersumbat (9.18%). Gejala non-THT yang terbanyak ditemukan meliputi demam (73.73%) dan batuk (57.91%). Keempat gejala THT terbanyak tersebut juga ditemukan pada usia 15-64 tahun, kecuali pada usia ≥65 tahun dimana gejala sakit kepala (3.17%) merupakan gejala terbanyak kedua setelah nyeri tenggorok. Tidak ditemukan gejala hidung tersumbat pada usia ≥65 tahun. Gejala THT terbanyak pada pasien pria terinfeksi SARS-CoV-2 berturut-turut adalah nyeri tenggorok (9.82%), hilang penciuman (4.75%), hidung tersumbat (4.44%), dan hilang pengecapan (2.85%). Sementara itu, gejala THT terbanyak pada wanita terinfeksi SARS-CoV-2 berturut-turut meliputi nyeri tenggorok (11.07%), hilang pengecapan (7.59%), hilang penciuman (6.96%), dan hidung tersumbat (4.74%).</p><p class="AbstractNormal"><strong>Kesimpulan: </strong>Gambaran klinis telinga hidung tenggorokkan pasien terinfeksi SARS-CoV-2 yang paling sering muncul berturut-turut adalah nyeri tenggorok, hilang penciuman, hilang pengecapan, dan hidung tersumbat. Frekuensi gejala ini bervariasi akibat banyak faktor, diantaranya adalah umur dan jenis kelamin.</p>
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.