Usaha untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing Boerka di antaranya dengan melakukan inseminasi buatan (IB). Untuk meningkatkan kualitas spermatozoa yang akan digunakan untuk IB maka diberikan hormon prostaglandin F2 alfa (PGF2α). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian PGF2α terhadap peningkatan motilitas spermatozoa kambing Boerka. Dalam penelitian digunakan 3 ekor kambing Boerka yang berumur ±2-3 tahun. Pelaksanaan perlakuan dirancang menggunakan pola latin square 3 x 3 sehingga hewan akan menerima suntikan P1 (1,5 ml NaCl fisiologis), P2 (37,5 μg PGF2α), dan P3 (75 μg PGF2α) dengan interval waktu perlakuan adalah 30 menit sebelum koleksi semen. Sampel semen dikoleksi dengan menggunakan vagina buatan dan diamati warna, konsistensi, volume, konsentrasi, motilitas, viabilitas, dan motilitas spermatozoa. Motilitas spermatozoa diamati setelah 4 jam di dalam refrigerator. Data warna dan konsistensi semen dilaporkan secara deskriptif, sedangkan volume, motilitas semen segar, dan motilitas spermatozoa setelah 4 jam di dalam refrigerator dianalisis dengan analisis varian pola bujur sangkar latin (RSBL) yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna dan konsistensi semen yang dikoleksi pada semua kelompok perlakuan adalah krem dengan konsistensi kental. Rataan (±SD) volume semen; konsentrasi spermatozoa (106/ml); motilitas semen segar (%); dan motilitas semen setelah penyimpanan pada P1 vs P2 vs P3 masing-masing adalah 0,90±0,4 vs 0,70±0,3 vs 0,90±0,3 ml (P>0,05); 2303,33±327,15 vs 2336,67±332,91 vs 2576,67±261,02 (P>0,05); 84,00±5,1 vs 73,33±11,54 vs 80,00±0,0% (P>0,05); 63,67±4,5 vs 53,33±4,7 vs 66,67±2,2% (P<0,05). Disimpulkan bahwa pemberian 75 μg PGF2α dapat meningkatkan motilitas spermatozoa kambing Boerka setelah penyimpanan dalam regrigerator selama 4 jam.
Penelitian ini bertujuan membuat pemodelan untuk diagnosis repeat breeding (RB) pada sapi aceh berdasarkan intensitas estrus, profil hormonal, profil biokimia darah, dan jumlah infeksi bakteri pada saluran uterus. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah 16 ekor sapi aceh yang terdiri atas 7 ekor sapi aceh fertil dan 9 ekor sapi aceh RB, yang berumur 3-8 tahun dengan skor kondisi tubuh (BCS) 3-4. Seluruh sapi aceh fertil dan RB dilakukan sinkronisasi estrus menggunakan hormon PGF2α dengan pola penyuntikan ganda dengan interval 11 hari. Setelah penyuntikan PGF2α, intensitas estrus diamati 3 kali sehari yakni pada pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB, masing-masing pengamatan selama 20 menit. Koleksi serum dilakukan pada pagi hari (jam 07.00-09.00 WIB). Koleksi serum dilakukan untuk pemeriksaan kadar hormon estradiol dan progesteron menggunakan teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Selain itu, sampel darah juga digunakan untuk pemeriksaan profil biokimia darah. Koleksi sampel bakteri dilakukan dengan metode swab uterus. Hasil pemodelan diagnosis RB pada sapi aceh diperoleh model matematis regresi linear sebagai berikut : Y= a + bX1 + bX2 .............+ bX11S/C = -5.28 + 1,27X1 - 0,69X2 - 0,99X3 - 0,23X4 + 2,28X5 – 0,53X6 + 0,71X7 - 0,29X8 + 0,09X9 + 3,04X10 Berdasarkan hasil dari pemodelan diagnosis RB pada sapi aceh menunjukkan bahwa penyebab utama RB pada sapi aceh adalah infeksi bakteri pada uterus yang kemungkinan mengakibatkan sapi tersebut mengalami stres yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah. Selain itu, RB pada sapi aceh juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan nutrisi dan hormonal yang mengakibatkan intensitas estrus menjadi rendah.
This study aimed to determine the effect of neem leaf extract on the seminiferous tubules of white rats. This study used 15 adult white rats which divided into 5 treatment groups. The control group was only given water and each treatment group was given neem leaf extract with the dose of 50 (P1), 100 (P2), 150 (P3), and 200 (P4) mg/kg BW orally for 30 days. The rats were then euthanized with chloroform and the testicular organs were collected for histopathological preparations using Haematoxylin and Eosin staining method. The data were analyzed descriptively. The results showed that there were no histological changes of seminiferous tubules in control group as well as in P1 group. Spermatogenic cells, Sertoli cells, lamina basalis, and interstitial connective tissue started to lyse and thin out were observed in P2. In P3 group, the Sertoli cells, basal laminae, and interstitial connective tissue showed partial lysis. Meanwhile, in P4 showed lysis of the interstitial connective tissue in each tubule. This study showed that seminiferous tubule damage is dose-dependent with the administration of neem leaf extract. In conclusion, neem leaf extract could affect the spermatogenesis process at the dose of 150 mg/kg BW and 200 mg/kg BW.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.