This article discusses the impact of territorial expansion on the socio-political structure among Papuans. The strategic issue of socio-economic and cultural transformation that is driven through territory expansion becomes hampered when new Papuan elites take over resources. The formation of a new social class, namely the new Papuan elites provided enormous political economy benefits in the expansion of the region. Strategic political positions and access toward development projects are tempting income. The presence of the new Papuan middle class is an important phenomenon in the midst of various development efforts for the welfare of the Papuan. Applying ethnographic approach this study aims to examine the process of the formation of Papuan elites as an impact of the dynamics of regional expansion, as well as the habitus of the presence of elites and strategy practiced in the community level.Artikel ini mendiskusikan dampak dari pemekaran daerah terhadap struktur sosial politik di tengah masyarakat Papua. Isu strategis transformasi sosial ekonomi dan budaya yang digerakkan melalui pemekaran daerah menjadi terhambat saat para elit baru Papua mengambilalih sumber daya. Terbentuknya kelas sosial baru yaitu para elit baru Papua memberikan keuntungan ekonomi politik yang sangat besar dalam pemekaran daerah. Jabatan politik strategis dan akses proyek-proyek pembangunan menjadi pendapatan yang menggiurkan. Kehadiran kelas menengah baru Papua ini menjadi fenomena penting di tengah berbagai usaha pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Papua.Dengan menggunakan pendekatan etnografi kajian ini bertujuan untuk mengkaji tentang proses terbentuknya para elit Papua sebagai buah dari dinamika pemekaran daerah, serta habitus kehadiran para elit dan siasat yang mereka praktikkan di tengah masyarakat.
The relation between ritual and socio-political environment should become a deep reflection. Rituals which take place in order for salvation, harmony, and natural balance instead generate the ambigue and ironic situation. Rituals had been going on amazingly but the social as well as natural disasters seems go on continually. In Bali, religious rituals that formerly guarded by mantra-mantra (spiritual wordings) recently enstead by a group of Pecalang (tradition guardian in Bali) and metal detector (at the time of Pamarisudha Karipubhaya Bali Blast of 2002 and 2005). Nowadays Balinese are eager to perform rituals spectacularly. But instead, Bali now is struck by continous disaster, not only the disaster came from external sources but also the internal ones.
Balinese customary villages are at the center of the state’s strategy for mitigation of Covid-19. Relations between customary villages and the state predate colonial times. The historical dynamics have shown that the traditions and cultures of customary villages (desa mawacara) will always exist within the shadow of the state (negara mawatata). The symbolic narrative of desa mawacara, negara mawatata illustrates the governmentality that the state exercises over the villages. Regional Regulation No. 4/2019 on Customary Villages in Bali and the formation of the customary village-based task force were rational choices made by the Governor of Bali to place the villages at the forefront of the province’s strategy against the pandemic. This article employs Li’s (2012) adaptation of Foucault’s concept of governmentality in its analysis. Discourse analysis was conducted with regards to information extracted from mass media, in-depth interviews, and participatory observation. This article argues that the state’s policies for Balinese customary villages are deeply entrenched in its long history of intervention and cooptation. During the Covid-19 pandemic, the state has been well aware of the extensive influence that customary villages hold over their communities. The state utilizes this reality to exert its authority.
PendahuluanSuatu hari di bulan Maret 2014 saya berkesempatan mengunjungi Pasar Gelael Jayapura. Lantai pertama pasar ini berupa swalayan dan di lantai atas berdiri megah sebuah restoran cepat saji, KFC. Sejak sore hingga malam saya memperhatikan aktivitas mama-mama Papua yang sibuk berjualan. Saat sore hari mereka mulai berdatangan entah darimana asala mereka, dan mulai memenuhi halaman di depan pasar swalayan Gelael. Mereka membawa barang dagangan dalam karung berupa sayur-sayuran, sirih pinang, buah-buahan, patatas, ubi dan sebagainya yang mereka gendong. Setibanya di depan pasar, AbstractThis article is ethnography of Papuan mothers working at traditional market. It discusses Papuan women's response, in particular Papuan mothers who engaged in trading at traditional market, in the context of desentraliation and social and cultural transformation in Papua.The mama-mama (mother's) attempt to build independency and social solidarity in their effort to meet household daily needs and manage the household. They organized themselves in SOLPAP (solidarity of the native Papuan trader) and KOMMPAP (Native Papuan Mothers Trader Cooperation) and this become their social movement in which they exercise their independency and solidarity. Through these organisations, they attempt to access the economic resources and strengthen their network. This article suggests that the mother's social movement illustrates the independency or Papuan mothers in the context of social and cultural transformation which has become complex in the decentralization. Keywords: Papuan women. Idenpendency, ethnography, socio-cultural transformation, social movement AbstrakArtikel ini adalah etnografi perjuangan mama-mama Papua yang berdagang di beberapa pasar tradisional. Artikel ini mendiskusikan tanggapan perempuan Papua, terutama mama-mama Papua dalam menghadapi dinamika pemekaran daerah dan transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Perjuangan mama-mama Papua untuk menumbuhkan kemandirian dan solidaritas sosial tergambar jelas di masa pemekaran dan transformasi. dalam pemenuhan ekonomi rumah tangga. Perempuan Papua ini berjuang dalam keseharian kehidupan mereka dan berperan penting dalam menjalankan hal-hal pokok dalam kehidupan rumah tangga. Gerakan sosial mama-mama Papua untuk mengakses pasar tradisional yaitu SOLPAP (Solidaritas Pedagang Asli Papua) dan Koperasi Mama-Mama Pedagang Asli Papua (KOMMPAP) menjadi praksis mereka untuk mengorganisir diri, berlatih kemandirian untuk berjuang merebut akses ekonomi dan sekaligus memperkuat solidaritas sosial para mama Papua. Artikel ini juga mendiskusikan bagaimana gerakan sosial mama-mama Papua ini adalah sebuah inspirasi dari langkah menumbuhkan kemandirian perempuan Papua di tengah transformasi sosial budaya yang semakin pelik di Papua karena pemekaran daerah.
Artikel ini memfokuskan pada penggalian bahasa ibu tentang tempat-tempat sakral bagi Orang Marori dan Kanum di Kabupaten Merauke, Papua. Bahasa-bahasa ibu bagi tempat-tempat sakral mengandung makna yang mentautkan hubungan manusia dengan lingkungannya. Masyarakat lokal memiliki pengetahuan kaya yang menunjukkan relasi panjang dengan lingkungan alam sekitarnya. Dari perspektif masyarakat terdapat pemetaan ruang-ruang hidup yang mencakup wilayah perkampungan, perkebunan, dan leluhur (pamali). Masyarakat juga menamai wilayah-wilayah tersebut dengan bahasa ibu yang biasanya mengacu kepada nama-nama tumbuhan, hewan, atau peristiwa sejarah penting di lokasi tersebut. Bahasa-bahasa tersebut memiliki makna yang luas dan menjadi cermin ekspresi kebudayaan orang Marori dan Kanum.Kondisi perubahan sosial budaya menghimpit mereka dan pondasi pengetahuan lokal dalam pemanfaatan lingkunga menjadi tergoyahkan. Masyarakat lokal memiliki pengetahuan kaya yang menunjukkan relasi panjang dengan lingkungan alam sekitarnya. Artikel ini menelusuri makna dibalik bahasa-bahasa ibu pada ruang-ruang hidup orang Marori dan Kanum. Pemertahan bahasa ibu menjadi sangat urgen di tengah perubahan sosial budaya yang mengakibatkan rusaknya lingkungan.Usaha tersebut tidak mudah di tengah mulai tercerabutnya akar budaya dan hilangnya pengetahuan bahasa lokal. Penghargaan terhadap lingkungan menjadi terabaikan dan perusakan berlangsung terus-menerus untuk kepentingan uang.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.