Mangrove menjadi salah satu ekosistem lahan basah yang berperan penting dalam menyerap karbon. Namun, secara alami ekosistem mangrove juga mampu mengemisikan gas rumah kaca kedalam atmosfer. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang berdampak signifikan terhadap perubahan iklim. Penelitian tentang siklus metana telah dilakukan di ekosistem mangrove TAHURA Ngurah Rai Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur konsentrasi gas metana pada tiga zona ekosistem mangrove. Metode chamber tertutup digunakan dalam pengambilan sampel gas yang kemudian dianalisis dalam gas kromatografi dengan sensor flame ionization detector (FID). Karakter ekologi mangrove yang terdiri dari parameter struktur komunitas mangrove dan lingkungan diukur dari setiap plot kuadrat pengambilan sampel gas. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi gas metana tertinggi ditemukan pada zona darat dengan rata-rata 3,698 ± 0,986 mg. L-1. Walaupun demikian, konsentrasi gas metana pada dua zona lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan zona darat. Variabilitas konsentrasi gas metana tidak berbeda signifikan dengan kondisi struktur komunitas mangrove yang berbeda antar zona. Penelitian ini hanya menemukan variasi nilai potensial redoks (ORP) yang berhubungan signifikan dengan konsentrasi gas metana. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa karakter ekologi mangrove yang cukup seragam di kawasan sehingga, tidak menimbulkan perbedaan yang signifikan pada konsentrasi gas metana antar zona. Namun, parameter kondisi substrat lainnya perlu dilibatkan dalam penelitian berikutnya.AbstractMangrove is one of the wetland ecosystems that play an important role in carbon sequestration and storage. However, the ecosystem also emits greenhouse gas into the atmosphere naturally. Methane has been considered as a significant effect on global warming. A preliminary study in a part of the carbon cycle was conducted on the mangrove ecosystem in Ngurah Rai Forest Park Bali. This study was aimed to determine methane gas concentration in three different mangrove zones. Gas samples were collected by closed chamber method and they were analyzed using gas chromatography embedded with the flame ionization detector (FID) sensor. Mangrove ecological parameters i.e. community structure and environmental condition were determined on each quadratic plot where gas samples were collected. The result showed that the highest methane concentration was found in the landward zone at 3,698 ± 0,986 mg. L-1. Even though, the methane concentration of the other zones had not significantly different from the landward zone. In addition, the mangrove community structure among the three zones was not different significantly. The oxidation-reduction potential was the only factor that had a significant correlation with methane concentration. Those results indicated that mangrove ecological conditions among zones were similar to each other, hence the variation of methane concentration was not significant. Nevertheless, substrate abiotic characters need to be involved in greenhouse gas studies in the future.
Beside their role as carbon sinker, mangrove soil can also emit greenhouse gases (GHG) through microbial metabolism. However, their emission was scarce in every mangrove zone. We measured the CO2 and N2O concentrations in Ngurah Rai Grand Forest Park, Bali, which experienced anthropogenic pressure. Rhizophora mucronata and Sonneratia alba dominated the mangrove vegetation in this area and have a characteristic zonation across the intertidal (landwards, middle, and seaward zone). Gas samples were taken above a height of 25 cm from mangrove soil during the wet season of 2020 at the three mangrove zones within three sites. Gas concentrations ranged from 303.09 – 330.57 ppm for CO2 and 0.51 – 0.53 ppm for N2O. CO2 and N2O concentrations were similar across mangrove zones, with a decreasing trend from the land toward the sea. A high density of mangrove trees was negatively associated with N2O; meanwhile, no soil and porewater parameters were significantly correlated with the gas concentrations. The result revealed that N2O concentration had exceeded the average value of the earth’s atmospheric N2O concentration. This information is essential for complementing previous research variations on GHG emissions and helps support the inventory of GHG emissions from the forestry sector.
Biota laut seperti ikan, kerang, dan gastropoda lainnya merupakan sumber makanan bagi manusia. Pada Kawasan Teluk Benoa, nelayan umumnya menangkap biota tersebut dan menjualnya di pasar atau untuk dikonsumsi. Logam berat telah mencemari biota laut di sekitar Teluk Benoa. Logam berat memiliki efek fatal bagi tubuh manusia jika dikonsumsi secara berlebihan. Beberapa logam berat yang berbahaya seperti kadmium (Cd), kromium (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi logam berat Cd, Cr, Cu, Pb, dan Zn pada biota laut di sekitar Teluk Benoa. Sampel ikan, kerang, dan gastropoda diambil secara acak dari nelayan Teluk Benoa. Metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) digunakan untuk menentukan konsentrasi logam berat pada setiap objek. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi logam berat yang tinggi pada Scarus Psittacus (ikan kakatua), Acanthurus xanthophores (ikan madah), Marcia hiantina (kerang merah), Anadara antiquata (kerang darah), and Cerithidea sp. (siso/batu-batu). Perbandingan dengan baku mutu FAO (1983), WHO (1989), IAEA-407 (2003), dan SNI-7387 (2009) menunjukkan bahwa biota-biota tersebut telah melebihi baku mutu. Pencemaran logam berat dari sedimen laut di daerah yang sama dan cara makan biota menjadi indikator dari konsentrasi logam berat yang variasi pada biota tersebut.
Mikroalga epifit merupakan organisme yang berperan penting sebagai produsen di lingkungan perairan. Organisme ini hidup menempel selamanya pada suatu substrat sehingga dapat menjadi bioindikator kesehatan lingkungan. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur komunitas mikroalga epifit dan hubungannya dengan parameter lingkungan. Metode substrat buatan digunakan sebagai media tempat menempel mikroalga epifit, yang kemudian dianalisis indeks struktur komunitasnya. Struktur komunitas mikroalga epifit terdiri dari kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi, sedangkan parameter perairan diukur yakni suhu, pH, salinitas, total padatan terlarut, nitrat dan fosfat. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kelimpahan mikroalga epifit yakni 112,62 ± 230,25 sel/mm2 dan 50,77 ± 85,34 sel/mm2 berturut-turut pada substrat kasar dan halus. Secara keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman mikroalga epifit termasuk dalam kategori sedang, indeks keseragaman kategori tinggi dan indeks dominansi rendah. Salinitas dan fosfat merupakan parameter yang berhubungan signifikan dengan kelimpahan mikroalga epifit. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa kondisi perairan di Pulau Serangan masih tergolong bagus bagi pertumbuhan mikroalga epifit.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.