AbstrakPertumbuhan pembangunan gedung yang tidak mempertimbangkan faktor kondisi alam menyebabkan munculnya potensi penurunan kualitas lingkungan hidup yang diakibatkan oleh konsumsi energi pada bangunan yang mengakibatkan menipisnya sumber daya alam, selain itu dilatar belakangi terjadinya fenomena perubahan iklim global yang menumbuhkan bangunan boros energi dalam kenyamanan fisik bangunan. Hal ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya desain arsitektur berbasis kondisi alam setempat termasuk kondisi iklim setempat atau pemanfaatan potensi Bioklimatik. Arsitektur Bioklimatik adalah adalah suatu pendekatan desain yang mengarahkan arsitek untuk mendapatkan penyelesaian desain dengan mempertimbangkan hubungan antara bentuk arsitektur dengan lingkungan iklim daerah tersebut. Kajian ini membahas prinsip desain Arsitektur Bioklimatik pada iklim tropis. Dengan demikian diharapkan dapat disusun theoritical framework terkait prinsip desain arsitektur pada iklim tropis. Iklim Tropis merujuk pada terminologi letak geografis daerah di sekitar equator diantara Garis Tropic of Cancer dan Tropic of Capricorn. Metode yang digunakan pada kajian ini dengan menggunakan studi pustaka atau studi referensi. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa Prinsip Desain Arsitektur Bioklimatik pada Iklim Tropis terdiri dari 2 (dua) tipe meliputi Prinsip desain untuk bangunan pada daerah Iklim Tropika Basah (Hot humid Climate) yang memiliki 2 musim dan Prinsip desain untuk bangunan pada daerah iklim Tropika kering (Hot Arid Climate) dengan 4 musim. Kedua prinsip desain ini dipengaruhi beberapa perbedaan kondisi iklim diantara kedua wilayah iklim ini. Kedua wilayah ini secara umum memiliki temperature udara tinggi, perbedaannya adalah perbedaan suhu diurnal diantara kedua wilayah iklim tersebut. Kondisi ini memerlukan respon yang berbeda khususnya pada desain selubung bangunan, dimana desain selubung bangunan mempengaruhi tingkat heat gain (perolehan panas) dan heat loss (pembuangan panas) bangunan tersebut dalam upaya menciptakan indoor thermal comfort pada bangunan. AbstractThe growth of building construction that does not consider natural conditions causes the potential for environmental degradation due to energy consumption in buildings, which and results in the depletion of natural resource. In addition to the occurrence of global climate change Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Tahun 2019 88phenomena that foster energy-intensive for buildings to fulfill the physical comfort. This condition raises awareness of the importance of architectural design based on local natural conditions including local climatic conditions or the utilization of bioclimatic potential. Bioclimatic Architecture is a design approach that directs architects to get a design finish by considering the relationship between architectural forms and the climate environment of the area. This study discusses the principles of Bioclimatic Architecture design in tropical climates. Thus the theoretical framework is expected to be arranged related to the principle...
Indonesia yang tumbuh dan berkembang pada masa pendudukan Belanda memiliki pola permukiman yang khas yaitu memiliki pembagian wilayah permukiman berdasar penggolongan etnis. Wa rga Belanda dan kaum kulit putih sebagai warga kelas satu mendapatkan prioritas untuk menikmati kawasan permukiman yang tertata dan memiliki infrastruktur yang relatif lengkap untuk jamannya. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Kolonial Belanda merupakan pemilik kewenangandari Kerajaan Belanda dalam melakukan pendudukan terhadap Indonesia yang memiliki perbedaan zaman, karakter dan cara pandang. Pada tulisan kali ini akan dibahas perbedaan karakteristik pembangunan permukiman kolonial Bel anda pada masa VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda melalui metode konten analisis. Dari kajian yang dilakukan diketahui bahwasanya terdapat perbedaan pendekatan pembangunan permukiman kolonial Belanda berdasarkan visi dan misi penjajahan dari VOC atau Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia.Pada masa VOC, permukiman dibangun secara mandiri untuk memenuhi aspek keamanan dalam perdagangan, berbeda pada masa Pemerintah Kolonial Belanda yang mulai bekerjasama dengan swasta dan lebih memperhatikan aspek kesehatan dan kenyamanan selain keamanan guna melanggengkan usaha kolonialisasi disemua bidang dalam kehidupan. Selain itu didapatkan pula karakteristik umum yaitu terpisah dari permukiman etnis lain, memiliki teritori atau batas yang jelas, memiliki infrastruktur yang relatif lebih lengkap dan tertata jika dibandingkan dengan permukiman untuk etnis lain, serta berbentuk atau cenderung menggunakan pola grid untuk menata permukiman tersebut.
Jenjang permukiman di Indonesia memiliki keberagaman yang mengacu kepada istilah lokal. Generalisasi terjadi ketika sebuah organisasi yang disebut negara berdiri dengan undang-undang yang mengatur penamaan hierarki tersebut. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana teori hierarki permukiman secara umum dalam konteks global menjadi dasar dalam pengelompokan jenjang permukiman yang ada di Indonesia. Mixed-methods systematic review digunakan sebagai metodologi penelitian, dengan mengumpulkan dan mengevaluasi penelitian yang berfokus pada hierarki permukiman. Diawali dengan menetapkan tujuan penelitian berserta tipe evidence; dilanjutkan dengan pencarian literatur berdasarkan kategori yang ditetapkan; Selanjutnya penilaian studi; dan mengelompokkan temuan tersebut; dan diakhiri dengan menetapkan dan menyimpulkan temuan sebagai koteks atau hasil ulasan. Hasil penelitian ini berupa pen-tipe-an hierarki pemrukiman tradisional yaitu; Tipe pertama disebut kelompok pertanian, kelompok ini terbentuk dalam konteks kegiatan bertahan hidup dengan keluarga inti; Tipe kedua disebut kelompok bermukim; sebagai upaya menjaga tradisi dan kebudayaan dalam satu kekerabatan; Tipe ketiga berupa kumpulan kelompok bermukim (kelompok suku) yang berdasarkan pada satu garis keturunan yang lebih jauh; Tipe keempat disebut kumpulan kelompok suku (kelompok adat), kumpulan dari kampung atau persukuan tadi membentuk hierarki yang lebih tinggi; Sedangkan Tipe berikutnya di atas kampung jenjang tersebut mulai samar, karena tidak banyak daerah yang memiliki hierarki yang di atas kampung.TYPOLOGY OF SETTLEMENT IN INDONESIA: HIERARCHY, DICHOTOMY, SOCIAL CONTEXT, AND SPATIALThe hierarchy of settlement in Indonesia has a diversity that refers to local terms. Generalization occurs when an organization called a state exists with laws governing the establishment of the hierarchy. This paper tries to see how the general settlement hierarchy theory in a global context becomes the basis for classifying settlement levels in Indonesia. The mixed-methods systematic review is used as a research methodology by collecting and evaluating research focusing on settlement hierarchies. Beginning with determining the research objectives along with the type of evidence; followed by a literature search based on the defined category; Further assessment studies; grouping the findings, and ending by establishing and concluding the findings as to the context or results of the review. The results of this study are in the form of typing the traditional settlement hierarchy; namely, The first type is called the agricultural group. This group is formed in the context of survival activities with the nuclear family. The second type is called a resident group as an effort to maintain tradition and culture in one kinship. The third type is a collection of settled groups (tribal groups) based on a more distant lineage. The fourth type is called a collection of tribal groups (customary groups), where the collection of villages or tribes forms a higher hierarchy. The next type above the village level is starting to be vague because not many areas have an order above the village.
This paper discusses the morphology of urban kampong which includes the morphology of urban urban kampong artifacts, by first defining what urban kampong morphology is. The discussion in this paper is still general and can still be developed more about the morphology of urban artifacts in urban kampong. Kampung kota is part of an urban area that has Indonesian characteristics. This paper uses the method of studying literature using several references related to morphology. And the references used are those related to morphology and urban kampong. The result of this paper is that the morphology of urban kampong artifacts is that settlements in a city generally occur unplanned. Unplanned parts of urban areas are referred to as settlements that make up cities with morphological principles consisting of streets, plots and buildings.
Thermal in buildings are always interesting to discuss, especially in tropical climate countries, more in related to the traditional architecture that many are around us today. This study aims to present the actual information related to the thermal comfort of traditional buildings in current conditions. This research tries to prove public opinion which still believes that traditional buildings are always comfortable and able to survive with the existing climate conditions. The method used is literature review on the results of research in journals that discuss the thermal comfort of traditional buildings in Indonesia. Some previous studies have claimed that traditional architecture has been design in such a way as to compromise climate conditions. However, recent research trends show that traditional architecture is no longer able to maintain thermal comfort, so design intervention is absolutely necessary. Thermal discomfort is influenced by tropical climate pressures that tend to be very hot, changes in the environment, buidling system, materials, design, and orientation of the building.Keyword: Traditional Architecture, Thermal, Local Wisdom, Tropical ClimateAbstrak: Termal bangunan akan selalu menarik dibahas khususnya pada negara iklim tropis, terlebih dikaitkan dengan arsitektur tradisional yang masih bertahan di sekitar kita saat ini. Penelitian ini bertujuan menyajikan informasi aktual terkait kenyamanan termal bangunan tradisional saat ini. Upaya membuktikan pendapat umum yang masih beranggaoan bahwa bangunan tradisional selalu nyaman dan mampu bertahan dengan kondisi iklim yang ada. Metode yang digunakan adalah tinjauan pustaka pada hasi-hasil penelitian di jurnal yang membahas tentang kenyamanan termal bangunan tradisional di Indonesia. Beberapa waktu sebelumnya banyak penelitian yang mengklaim bahwa arsitektur tradisional telah dikonsepkan sedemikian rupa untuk bertahan terhadap iklim. Akan tetapi tren penelitian terbaru memperlihatkan bahwa arsitektur tradisional sebenarnya sudah tidak lagi mampu mempertahankan kenyamanan termal, sehingga intervensi desain mutlak diperlukan. Ketidaknyamanan termal dipengaruhi oleh tekanan iklim tropis yang cenderung sangat panas, perubahan lingkungan di sekitar, sistem bangunan, material, desain, dan orientasi bangunan.Kata Kunci: Arsitektur Tradisional, Kenyamanan Termal, Kearifan lokal, Iklim Tropis.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.