Introduction: Clinical features of IgA nephropathy (IgAN) vary widely from asymptomatic hematuria, gross hematuria, and nephrotic range proteinuria to Rapid Progressive Glomerulonephritis (RPGN). RPGN is a challenge in itself in its diagnostic and treatment, especially in conditions of inadequate resources and facilities Case Description: Male, 52 years old, with complaints of uremia, oliguria, and leg edema. Obtained hypertension with blood pressure 159/91 mmHg. Urinalysis found +4 protein, full erythrocyte sediment, and positive erythrocyte cast. Albumin to Creatinine Ratio (ACR) levels 2163.10 g/mg creatinine. Blood Urea Nitrogen levels were 78.3 mg/dL, serum creatinine 5.11 mg/dL, serum IgA 546 mg/L, albumin, lipid profile and urological ultrasound were normal. The patient was diagnosed with acute glomerulonephritis due to IgA nephropathy with RPGN. The therapy was given Methylprednisolone 2x16mg for one month, followed by alternating days, Lisinopril 1x5mg, and Atorvastatin 1x20mg. One month of treatment follow-up showed general condition improvement, normal blood pressure, serum creatinine 1.69 mg/dL, urinalysis of erythrocyte sediments 5-10/LPB with ACR levels of 486.44 µg/mg creatinine. Discussion: RPGN is acute glomerulonephritis with a sudden, rapid, and progressive decline in renal function, accompanied by oliguria, edema, hypertension, and active urine sediment. The suspicion of RPGN, in this case, was based on the findings of nephritic symptoms and signs in the form of microscopic hematuria, erythrocyte casts, subnephrotic proteinuria, hypertension, edema, oliguria, uremia and serum creatinine increased more than two times normal. With the administration of corticosteroids, kidney function improved rapidly. A kidney biopsy was not performed due to limited human resources and facilities. Conclusion: We report a case of a 52-year-old man with acute glomerulonephritis whose clinical picture is suspected of being RPGN due to IgAN. The response to therapy is quite good with the administration of corticosteroids, ACE-I and statins. Pendahuluan : Gambaran klinis nefropati IgA (IgAN) sangat bervariasi dari hematuria asimptomatik, gross hematuria, nephrotic range proteinuria hingga Rapid Progressive Glomerulonephritis (RPGN). RPGN merupakan tantangan tersendiri dalam diagnostik dan penanganannya, khususnya pada kondisi sumber daya serta fasilitas yang tidak memadai Deskripsi Kasus: Laki-laki, 52 tahun dengan keluhan uremia, oligouria, dan edema tungkai. Didapatkan hipertensi dengan tekanan darah 159/91 mmHg. Urinalis didapatkan protein +4, sedimen eritrosit penuh, eritrosit cast positif. Kadar Albumin to Creatinine Ratio (ACR) 2163,10 µg/mg kreatinin. Kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) 78,3 mg/dL, serum kreatinin 5,11 mg/dL, IgA serum 546 mg/L, serta albumin, lipid profil dan USG urologi normal. Penderita didiagnosis dengan glomerulonefritis akut oleh karena nefropati IgA dengan RPGN. Pasien diberikan metilprednisolon 2x16mg selama 1 bulan dilanjutkan alternating day, lisinopril 1x5mg, dan atorvastatin 1x20mg. Hasil follow-up 1 bulan pengobatan menunjukkan kondisi umum membaik, tekanan darah normal, serum kreatinin 1,69 mg/dL, urinalisis sedimen eritrosit 5-10 /LPB dengan kadar ACR 486,44 µg/mg kreatinin. Diskusi: RPGN adalah salah satu jenis glomerulonefritis akut dengan manifestasi penurunan fungsi ginjal mendadak, cepat, dan progresif, disertai oliguria, edema, hipertensi, serta urin sedimen aktif. Kecurigaan RPGN pada kasus ini didasarkan atas ditemukannya gejala dan tanda nefritik berupa hematuria mikroskopik, eritrosit cast, proteinuria subnefrotik, hipertensi, edema, oligouria, uremia dan serum kreatinin meningkat lebih 2 kali normal, serta dengan pemberian kortikosteroid fungsi ginjal cepat membaik. Biopsi ginjal tidak dilakukan karena keterbatasan tenaga dan sarana. Simpulan: Dilaporkan kasus laki-laki 52 tahun dengan glomerulonefritis akut yang gambaran klinisnya dicurigai sebagai RPGN karena IgAN. Respon terapi cukup baik dengan pemberian kortikosteroid, ACE-I dan statin.
Pendahuluan. Diabetes Melitus (DM) merupakan komorbid yang sering ditemukan pada penderita dengan COVID-19. Pasien COVID-19 dengan DM sering muncul dengan gejala hiperglikemia preprandial maupun postprandial. Kasus. Pasien laki-laki 51 tahun dengan DM tipe II terinfeksi COVID-19, gula darah 33 mg/dl saat opname. Dalam perawatan, setelah diberikan bolus dextrose 40% dan infus dextrose 10%, kadar gula darah meningkat hingga mencapai 197 mg/dl. Pasien mendapatkan terapi glukokortikoid Dexametason 3x5 mg intravena hari pertama sampai kelima. Selama injeksi glukokortikoid kadar gula darah naik turun antara 321-451 mg/dl dengan terapi insulin Glargine mencapai 16 IU dan insulin Aspart 3x10 IU subkutan. Setelah glukokortikoid dihentikan, kadar gula darah turun namun masih melebihi 180 mg/dl sebagai target pengendalian gula darah pada pasien critical ill COVID-19. Hari kedua belas, kadar gula darah mulai terkendali baik dengan dosis insulin Glargine 20 IU dan insulin Aspart 3x10 IU. Pembahasan. Glukokortikoid paling sering memprovokasi hiperglikemia, dikenal sebagai Steroid-Induced Hyperglycemia (SIH). SIH umumnya muncul 48 jam pertama pemberian steroid. COVID-19 juga dapat menyebabkan hiperglikemia melalui peningkatan sitokin proinflamasi dan reactive oxygen species, sehingga terjadi resistensi insulin dan hambatan sekresi insulin. Simpulan. Dilaporkan kasus hiperglikemia karena SIH dan infeksi COVID-19 ditandai gula darah terkendali setelah glukokortikoid dihentikan dan COVID-19 memasuki fase penyembuhan.
Pendahuluan. Kepastian adanya perdarahan dan sumber perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi. Penelitian ini dilakukan guna mendapatkan gambaran tentang gejala, kelainan endoskopi dan risiko perdarahan berulang pada penderita perdarahan SCBA. Metode. Penelitian deskriptif secara cross sectional. Sampel adalah semua penderita dengan gejala perdarahan SCBA yang tercatat di register ruang rawat inap RSUD Tabanan dalam periode Januari 2020 sampai Desember 2021 yang dilakukan endoskopi. Data diambil dari rekam medik penderita dan dianalisis dengan program SPSS 26. Hasil. Dari 65 penderita yang memenuhi kriteria penelitian, sebanyak 67,7% laki-laki dan 32,3% perempuan dengan kelompok usia ³ 60 tahun sebanyak 55,38%. Gejala perdarahan yang paling sering ditemukan adalah melena (44,6%) dan hematemesis (35,4%). Hasil endoskopi didapatkan ruptur varises sebesar 40%, ulkus peptikum 22,98%, dan erosif mukosa 22,98%. Sebanyak 64,6% penderita mengalami perdarahan SCBA untuk pertama kalinya dan hanya 35,4% dengan perdarahan berulang. Berdasarkan skor Rockall sebanyak 52,3% didapatkan dengan skor ≤ 2. Simpulan. Gejala perdarahan SCBA didapatkan lebih banyak pada laki-laki dan usia lanjut. Gambaran endoskopi didapatkan varises esofagus dan gaster, ulkus peptikum dan erosiva mukosa sebagai penyebab terbanyak. Sebagian besar subyek penelitian menunjukkan skor Rockall ≤ 2 sebagai kategori risiko rendah terjadinya perdarahan berulang dan kematian.
Introduction: Inflammation response and endothelial damage caused by COVID-19 resulting coagulopathy by increased D-dimer level. High D-dimer can predict COVID-19 severity. This research conducted to know the correlation, risk, and prediction of severe COVID-19 infection in patients with high D-dimer levels. Method: Cross-sectional with bivariate and multivariates logistic regression analysis was conducted. Samples are ≥18 years old with COVID-19 hospitalized in Tabanan regional hospital during October 2021- March 2022. Data collected from medical records. Patients with chronic liver disease, congestive heart disease, malignancy, post-surgery, pregnancy, and deep vein thrombosis are excluded. COVID-19 severity criterias are based on COVID-19 management protocol. Result: Of 84 patients, 63.1% males and 58.3% ≥ 60 years old. Mean D-dimer level in severe COVID-19 patients are 3,256.06 ng/ml, and 1,543.02 ng/ml in non-severe (p = 0.014, CI 95%: 435.568–2,990.51). Cut-off point of D-dimer level is 788.5 ng/ml, with 71.9% sensitivity and 69.2% specificity on the receiver operating characteristics curve. A significant correlation is found between D-dimer level above cut-off and COVID-19 infection severity (OR 5.75, CI 95%: 2.18-15.16, p= 0.001). Correlation is still significant after variables age ≥60 years old and DM comorbidity adjusted (OR 5.32, CI 95%: 1,922-14,729, p=0.001). Probability of severe COVID-19 infection in patients ≥60 years old with D-dimer level > 788.5 ng/ml and has DM comorbidity is 83.24%. Conclusion: COVID-19 infection severity correlates with increased D-dimer levels with risk more than 5 times after variables age ≥60 years old and DM comorbidity adjusted, with moderate categorized prediction accuracy. Pendahuluan: Respon inflamasi dan kerusakan endotel akibat COVID-19 menyebabkan terjadinya koagulopati, ditandai dengan peningkatan kadar D-dimer. D-dimer tinggi diperkirakan dapat memprediksi keparahan COVID-19. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan, besar risiko, dan prediksi terjadinya infeksi COVID-19 berat pada penderita D-dimer tinggi. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan analisis bivariat chi-square dan regresi logistik multivariat. Sampel adalah penderita ≥18 tahun dengan COVID-19 yang dirawat di RSUD Tabanan periode Oktober 2021-Maret 2022. Data diambil dari rekam medik. Penderita penyakit hati kronik, penyakit jantung kongestif, keganasan, paska pembedahan, hamil, dan deep vein thrombosis dieksklusi. Kriteria keparahan COVID-19 menggunakan buku pedoman protokol tatalaksana COVID-19. Hasil Penelitian: Dari 84 penderita memenuhi kriteria, 63,1% laki-laki, 58,3% umur ≥ 60 tahun. Rata-rata kadar D-dimer pada infeksi COVID-19 berat 3.256,06 ng/ml dan 1.543,02 ng/ml pada infeksi COVID-19 tidak berat (p = 0,014, IK 95 %: 435,568 – 2.990,51). Nilai cut off kadar D-dimer didapatkan 788,5 ng/ml dengan sensitivitas 71,9%, spesifisitas 69,2% pada receiver operating characteristics curve. Didapatkan hubungan bermakna D-dimer diatas cut off dengan tingkat keparahan infeksi COVID-19 (OR 5,75, IK 95%: 2,18-15,16, p= 0,001) Hubungan ini tetap bermakna setelah diperhitungkan faktor usia ≥60 tahun dan komorbid DM (OR 5,32, IK 95%: 1.922-14.729, p = 0,001). Probabilitas terjadinya infeksi COVID-19 berat pada penderita usia ≥60 tahun dengan D-dimer > 788,5 ng/ml dan komorbid DM adalah 83,24%. Simpulan: Keparahan infeksi COVID-19 berhubungan dengan peningkatan kadar D-dimer dengan risiko lebih dari lima kali setelah diperhitungkan faktor usia dan komorbid DM dengan akurasi prediksi kategori sedang.
Infeksi COVID-19 ditandai dengan masuknya virus SARS-CoV-2 yang berikatan dengan reseptor ACE-2. Selama proses ini, virus akan menghindari sistem imun tubuh, kemudian diikuti oleh badai sitokin pada beberapa pasien. Selain berperan untuk homeostasis kalsium dan metabolisme tulang, vitamin D juga berperan pada pengurangan proses inflammasi dan imunoregulasi yang dikenal sebagai efek imunomodulasi. Vitamin D berperan melawan patogen pada imunitas adaptif dan bawaan. Vitamin D memodulasi respon sel T-helper (Th) untuk menginduksi perpindahan respon dari Th1 ke Th2, meningkatkan perkembangan sel T regulatori (Treg) dan menyeimbangkan respon sel T-helper untuk melawan patogen dan menurunkan produksi sitokin proinflamasi. Vitamin D dapat menurunkan produksi sitokin proinflammasi seperti TNF-a, IL-6, IL-1b, IL-12, dan IFN-g, disebabkan oleh terhambatnya aktivasi faktor nuklear kB (NF-kB). Vitamin D juga dapat menginduksi vasorelaksan ACE2 yang merubah Angiotensin II menjadi Angiotensin VII yang bersifat vasodilator sehingga dapat mencegah terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Beberapa data penelitian menunjukkan adanya kekurangan vitamin D pada penderita terinfeksi COVID-19. Satu penelitian meta-analisis mencakup 360.972 penderita COVID-19 mendapatkan defisiensi vitamin D 37,7% dan insufisiensi vitamin D 32,2%. Defisiensi vitamin D ini berkaitan dengan tingkat keparahan dan kematian penderita COVID-19. Data dari 42 penderita dengan gagal napas akut karena infeksi COVID-19 di Bari Italia menunjukkan penderita dengan kadar vitamin D < 10 ng/ml angka kematiannya 50% setelah 10 hari perawatan. Pemeriksaan kadar vitamin D sangat dianjurkan pada penderita COVID-19. Suplementasi Vitamin D dianjurkan menggunakan vitamin D3 dengan dosis pemberian 4000 IU/hari selama 7 hari selanjutnya dosis pemeliharaan 800-1000 IU/hari pada penderita dengan kekurangan vitamin D.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.