Intoduction: Deep neck infection is the accumulation of pus in the potential space and facial area in the deep neck. The incidence of deep neck space infections is 1/100.000 in adults and 2/100.000 in children. Risk factors such as age, oral hygiene, and comorbidities such as DM are predisposed factors in deep neck infection. Effective pus collection of specimens is essential, to obtain the organisms and determine the effective antibiotics. Purpose: The aim of this study was to describe the characteristics and bacterial patterns of abscess in Dr. Mohammad Hoesin General Hospital Palembang. Methods: This study was conducted retrospectively using medical records of patients who diagnosed deep neck infection in Dr. Mohammad Hoesin General Hospital Palembang during January to December 2020 who took pus collection and been checked in microbiology laboratory. Data recorded include gender, age, site, onset, risk factors, comorbidities, bacteria culture, antibiotic sensitivity, and complications. Results: Of the 36 patients, 23 (63.8%) were males, followed by 13 (36.1%) were female, and the age of 31-45 years old group were found in 13 subjects (36.1%). The onset was mostly found at 0-1 week as many as 19 subjects (52.7%). The highest complaints of dysphagia and odynophagia were found in 22 cases (26,2%), odontogenic factors were found in 35 cases (97,2%). Abscess location in multiple space were found in 17 cases (47,2%), while in single space there were 19 cases (52.7%), where the most location was in submandibular space in 7 cases. Diabetes was the most comorbid factors found in 6 subjects (50%). The most bacterial were Klebsiella pneumoniae in 4 cases (11.1%) and sensitive antibiotics including ciprofloxacin, meropenem, and tigecycline, in 6 cases (20%) respectively. And the most complication was mediastinitis in 6 cases (75%). Conclusion: Klebsiella pneumoniae is the most common found in deep neck infection with sensitive antibiotics including ciprofloxacin, meropenem, and tigecycline.
Background: Deep neck abscess is an accumulation of pus in one or more potential spaces of the deep neck fascia. Complications of deep neck abscesses are considered as an emergency in the Ear Nose Throat–Head and Neck field. One determining factor of prognosis in deep neck abscess patients is the length of stay in the hospital. Objective: To find out the factors associated with the hospital length of stay of deep neck abscess patients. Method: Observational research using a cross sectional design. Data collection was carried out using medical record data on 91 subjects diagnosed with deep neck abscess at Dr. Mohammad Hoesin Hospital Palembang from July 2018 to May 2021. Result: From the 91 samples studied, the average hospital length of stay for deep neck abscess patients was 11.26 days. The study found factors related to the length of stay in the hospital, namely comorbidities (p=0.005), location of the abscess (p=0.004), pus culture (p=0.003), and the number of deep-neck spaces involved (p=0.005). Linear regression found that the most significant factors on the hospital length of stay were the involvement of abscess in 2 or more deep neck spaces (p = 0.002) and the presence of comorbidities (p = 0.005). Conclusion: Abscess involvement in 2 deep neck spaces or more and the presence of comorbidities were the most influential factors associated with the hospital length of stay in deep-neck abscess patients.ABSTRAKLatar Belakang: Abses leher dalam adalah akumulasi pus pada satu atau lebih ruang potensial fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi. Komplikasi abses leher dalam masih merupakan keadaan darurat di bidang THT-KL. Salah satu faktor penentu prognosis adalah lama rawat di rumah sakit. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi lama rawat pasien abses leher dalam di rumah sakit. Tujuan: Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan lama rawat pasien abses leher dalam di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Metode: Penelitian observasional yang menggunakan rancangan potong lintang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data rekam medis pada 91 subjek dengan diagnosis abses leher dalam di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Juli 2018 sampai dengan Mei 2021. Hasil: Dari 91 sampel yang dilakukan penelitian, rerata lama rawat di rumah sakit pada pasien abses leher dalam adalah 11,26 hari. Penelitian mendapatkan faktor yang berhubungan dengan lama rawat di rumah sakit yaitu komorbid (p=0,005), lokasi abses (p=0,004), kultur pus (p=0,003), dan jumlah ruang leher dalam yang terlibat (p=0,005). Dari uji regresi linier didapatkan faktor yang paling memengaruhi lama rawat di rumah sakit adalah keterlibatan abses ³ 2 ruang leher dalam (p=0,002) dan terdapat komorbid (p=0,005). Kesimpulan: Keterlibatan abses pada 2 ruang leher dalam atau lebih, dan terdapatnya komorbid adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap lama rawat pasien abses leher dalam.
Background: Post intubation laryngeal injury varies in each individual. The occurrence could not be predicted, but it might be related to age, gender, smoking, comorbidities, duration of intubation, re- intubation, the type and size of endotracheal tube, the volume and duration of cuff inflation. Knowing the risk factors could prevent and decrease the occurrence of post intubation laryngeal injury. Objective: To find out the risk factors associated with the incidence of laryngeal injury after intubation. Method: This study was a cross sectional design. The samples were taken from medical records of Intensive Care Unit/ High Care Unit patients at Dr.Mohammad Hoesin Hospital Palembang, from January to December 2019. Result: There were 59 ICU/HCU patients suffered post intubation laryngeal injuries. The injuries were varied, with laryngeal edema being the most common injury (89.8%), followed by widened posterior gap (52.5%), and subglottic ulcer (32.2%). Based on the Classification of Acute Laryngeal Injury (CALI), the most common post intubation laryngeal injury was severe injury (42.4%). Multivariate analysis found that intubation more than 7 days had 4.7 times probability of experiencing severe laryngeal injury. Discussion: In our study, there was no significant correlation between post intubation laryngeal injury with gender, comorbidities, smoking, diameter of ETT, and re-intubation. There was a significant correlation between post intubation laryngeal injury, with age, duration of intubation, and kinking type of ETT. Conclusion: There was a significant relationship between severe post intubation laryngeal injury and duration of intubation. ABSTRAKLatar belakang: Cedera laring pasca intubasi endotrakeal bervariasi antara satu individu dengan individu lain. Penyebabnya belum diketahui pasti, tetapi mungkin berhubungan dengan usia, jenis kelamin, riwayat merokok, komorbid, lama intubasi, riwayat intubasi berulang, ukuran dan jenis pipa endotrakeal, volume cuff dan lama cuff dikembangkan. Diketahuinya faktor risiko dapat mencegah dan mengurangi angka kejadian cedera laring pasca intubasi. Tujuan: Mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian cedera laring pasca intubasi. Metode: Penelitian observasional menggunakan rancangan potong lintang (cross sectional). Dilakukan melalui data rekam medik pasien Intensive Care Unit/High Care Unit RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Januari-Desember 2019. Hasil: Didapati 59 pasien ICU/HCU yang mengalami cedera laring pasca intubasi. Cedera yang terjadi bervariasi, edema laring adalah cedera yang paling banyak terjadi (89,8%), diikuti posterior gap yang melebar (52,5%) dan ulkus subglotis (32,2%). Berdasarkan Classification of Acute Laryngeal Injury (CALI), derajat cedera laring pasca intubasi terbanyak adalah cedera derajat berat sebanyak 25 pasien (42,4%). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa lama intubasi >7 hari berpeluang 4,7 kali mengalami cedera laring derajat berat. Diskusi: Pada penelitian ini tidak didapati hubungan yang bermakna antara kerusakan laring pasca intubasi dengan jenis kelamin, penyakit penyerta, merokok, diameter pipa endotrakeal dan intubasi berulang. Didapati adanya hubungan yang bermakna antara kerusakan laring pasca intubasi dengan umur, lamanya intubasi dan pipa endotrakeal tipe kinking. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara cedera laring pasca intubasi derajat berat dengan lamanya intubasi.
Berbicara merupakan cara yang efektif untuk berkomunikasi. Adanya gangguan suara atau disfonia akan mengganggu proses komunikasi yang akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial. Voice Handicap Index (VHI) merupakan salah satu kuesioner untuk menilai persepsi suara dimana Agency of Healthcare Research and Quality pada tahun 2012 mengumumkan VHI sebagai diagnostik instrumen yang valid dan reliabel. Saat ini klinisi di Indonesia belum menggunakan alat ukur ini pada pasien dengan gangguan suara ataupun untuk evaluasi pascaterapi karena belum tersedianya instrumen yang sudah teruji reliabilitasnya dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan VHI adaptasi bahasa Indonesia yang reliabel, mengetahui sebaran subjek gangguan suara berdasarkan demografi, pemeriksaan perseptual subjektif (GRBAS) dan laringoskopi indirek. Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang. Subjek diambil dengan teknik consecutive sampling hingga terpenuhi jumlah sampel 40 orang. Penelitian dilakukan di poliklinik THT-KL divisi Laring Faring RSMH pada bulan Juni-November 2018. Hasil uji reliabilitas VHI didapatkan skala fungsional, fisik, emosional maupun skor total memiliki nilai alpha lebih dari 0,7. Hal ini menunjukkan bahwa VHI adaptasi bahasa Indonesia reliabel untuk dijadikan suatu instrumen pemeriksaan. Nilai Cronbach-α tertinggi yaitu pada skala VHI total sebesar 0.884. VHI-30 adaptasi bahasa Indonesia reliabel sebagai instrumen penilaian kualitas hidup pasien gangguan suara.
LATAR BELAKANG :Trakeostomi adalah tindakan mengiris atau membuat lubang pada trakea. Adanya pemakaian kanul trakea membuat paparan langsung patogen ke saluran pernafasan. Perlu dilakukan identifikasi pola kuman dalam upaya mengatasi infeksi stoma trakea sehingga dapat mencegah komplikasi yang lebih lanjut. TUJUAN :Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan antara pola kuman trakea dan stoma trakea pada pasien dengan infeksi stoma trakea METODE :. Penelitian observasional dengan desain cross-sectional.Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data rekam medik pada 60 subjek yang menjalani swab di trakea dan stoma trakea serta pemeriksaan kultur periode November 2020 hingga Oktober 2021. HASIL : Dari 60 subjek penelitian didapatkan keseluruhan merupakan bakteri gram negatif dengan Pseudomonas aeruginosa (45%) merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan diikuti Klebsiela pneumonia, Escherichia coli dan Serratia marcescens. Usia, status gizi, komorbid, penggunaan dressing dan jarak pergantian kanul bukan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian infeksi stoma trakea. KESIMPULAN : Terdapat perbedaan antara pola kuman pada trakea dan stoma trakea dengan kejadian infeksi stoma trakea. Penderita dengan pola kuman Escherichia coli di trakea dan Serratia marcescens di stoma trakea berpengaruh secara signifikan untuk mengalami infeksi stoma trakea.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.