Proses dan hasil Pemilihan Umum tahun 2019, telah selesai. Semua anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), telah dilantik, termasuk Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Namun permasalahan mengenai Pemilu serentak 2019, masih menjadi keprihatinan publik. Salah satunya adalah kinerja penyelenggara ad-hoc, terkait dengan kualitas dan integritas penyelenggaraan Pemilu 2019. Tulisan ini, mencoba mengkaji masalah penyelenggara adhoc dalam pelaksanaan Pemilu 2019 yang menggabungkan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara serentak. Metode yang digunakan adalah kualitatif desktiptif, dan data yang diolah yaitu data sekunder dan data primer. Penelitian ini berawal identifikasi dan perumusan masalah, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data meliputi klasifikasi dan reduksi data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Hasil studi menggambarkan, Pemilu serentak 2019 justru menjadi masalah serius bagi penyelenggara adhoc. Masalahnya, antara lain; (1) disain kelembagaan adhoc pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, menimbulkan ketidakpastian; (2) Penyiapan sumber daya penyelenggara adhoc yang tidak maksimal; (3) beban kerja dan tanggung jawab yang makin besar, dan; (4) Pola kerja dan penghargaan yang tidak seimbang. Perlu direvisi kebijakan Pemilu, agar lebih berpihak pada penyelenggara adhoc dan perlu dibentuk badan khusus yang berfungsi meningkatkan kompetensi penyelenggara adhoc secara berkala.
Maros Regency, South Sulawesi Province (South Sulawesi), already has a Regional Regulation (Perda) on Child Worthy Districts. However, the implementation of this policy is still low because there are still several cases regarding violence and immoral acts against children. Macro-wise, this is also in line with the publication of the Child Protection Commission in 2020. There were 4734 cases of child complaints. This is because the implementation of the Child Protection Law Number 35 of 2014 is still lacking in terms of mentoring children. Therefore, a social institutional approach is needed to bridge between regulation and various child protection issues. This study focuses on using social groups in child protection in Maros. The method used is participatory discussion. The results of this service illustrate that, although the Maros Regional Government already has a tiered planning mechanism in the form of a Development Planning Deliberation starting from the village level as material for compiling a child protection program for Maros Regency as a whole. However, it seems less than optimal, because the government does not have sufficient ability to play its role as a catalyst for development. For this reason, further efforts are needed to increase the use of social groups in child protection in Kabupaten Maros. The social group serves as a channel to solve various problems related to child protection in Maros County. Therefore, existing social groups are empowered in the form of institutional strengthening and capacity building of available resources so that the quality of protection and welfare of children in the Maros Regency can be achieved.
Penelitian ini mengkaji tentang pola hubungan sosial dan eksistensi pada masyarakat benteng Tolotang di desa Kalosi alau kabupaten Sidrap. Istilah benteng Tolotang terdiri dari kata “Tolotang” dan “Benteng”. Tolotang berasal dari istilah toriolota yang disingkat menjadi rakyat dan riolota artinya untuk sekali kemudian disingkat menjadi nama Tolotang. Kemudian tolotang ini menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Artikel ini juga mendeskripsikan keberadaan Hindu Tolotang dalam masyarakat Bugis, yang sebagian besar berdomisili di Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan. Tolotang pada awalnya adalah agama lokal kuno orang Bugis yang telah berafiliasi ke Hindu sejak tahun 1966, sehingga sekarang dikenal sebagai Hindu Tolotang. Pilihan mereka untuk berafiliasi ke Hindu disebabkan oleh tekanan dari komunitas agama lain selama beberapa abad. Masyarakat Benteng Tolotang merupakan komunitas masyarakat yang memiliki dua unsur, yaitu unsur Islam dan unsur Tolotang, mereka mengakui sebagai Tuhannya para Dewa SeuwaE Mereka dan Sawerigading sebagai Nabinya. Dan mereka memiliki kitab suci berupa lontara-lontara, memiliki pemmali-pemmali Benteng Tolotang yang dipimpin oleh seorang “Uwatta” sebagai tokoh informal. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan metode studi kasus dengan mengambil informan sebanak 3 orang dengan observasi dan wawancara . Hasil penelitian ini menunjukkan struktur sosial Benteng Tolotang berdimensi dua yaitu vertikal dan horizontal, dan pola hubungan sosial dalam masyarakat Benteng Tolotang terdapat dua pola hubungan yaitu uwatta sebagai pemimpin spiritual dalam masyarakat mempercayai Benteng Tolotang dan uwatta sebagai pemimpin informal dalam masyarakat. Dengan demikian, keputusan para pemuka agama lokal Tolotang untuk berafiliasi ke dalam agama Hindu pada tahun 1966, sebenarnya memiliki landasan yang tepat. Implementasi perbedaan antara Hindu Tolotang dengan komunitas Hindu dari etnis lain disebabkan oleh prinsip desa (tempat), kala (waktu), dan patra (situasi dan kondisi), serta perbedaan yang diekspresikan dari konsep satwam (ketaatan), siwam (keagungan), dan sundaram (keindahan) dalam agama Hindu.
The flood disaster that struck the Province of South Sulawesi (South Sulawesi) at the end of January 2019, was the worst natural disaster in the past 20 (twenty) years. Of the 24 (twenty four) districts and cities in South Sulawesi, there are 6 (six) districts and cities experiencing very poor conditions, namely the Regencies of Jeneponto, Maros, Gowa, Takalar, Barru and Makassar. As a result of this disaster, tens of thousands of families lost their homes, property was destroyed, social facilities such as schools and houses of worship were also severely damaged and some were destroyed. Even more pathetic, because more than a hundred people died. This results from an imbalance of ecosystems causing serious problems. Community understanding of the need to maintain ecosystem balance is still very low coupled with the socioeconomic situation which makes the community more pragmatic. The problem is, how do you increase the awareness of the community in maintaining the balance of the ecosystem? And how to foster disaster-conscious attitudes and behavior for the community, especially in disaster-prone areas? Therefore, the writing of this article aims to comprehensively examine people's attitudes related to maintaining ecosystem balance and fostering disaster-conscious behavior in the community, especially in disaster-prone areas as an alternative to disaster risk management. The method used is qualitative with the type of case study studies. The selection of informants is done purposively and the data processed are primary and secondary. From the results of this study it was found, the increasingly severe environmental damage became the main trigger of natural disasters that occurred in South Sulawesi at the end of January 2019. This environmental damage, is dominant because of the very exploitative behavior of the community towards the environment. For example, what happened in Gowa district, the big floods that occurred because around the Jeneberang River and Bili-Bili Dam areas - sand mining activities have been going on for decades. Likewise, the Mount Bawakaraeng area, which used to function as a buffer against flooding, has long been deforested as a result of causing landslides whenever there is heavy rain. This condition also occurs in the districts of Jeneponto, Maros and others - these areas are vulnerable to heavy rainfall. To overcome this serious problem, one alternative is to form community groups that are aware of disasters. This strategy of forming disaster awareness groups, by combining approaches from above (government) and from below (the community) Musibah banjir yang melanda Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) di akhir Januari 2019, merupakan bencana alam yang terparah selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir ini. Dari 24 (dua puluh empat) kabupaten dan kota di Sulsel, ada 6 (enam) kabupaten dan kota mengalami kondisi sangat memprihatinkan yaitu Kabupaten Jeneponto, Maros, Gowa, Takalar, Barru dan Makassar. Akibat dari bencana ini, puluhan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal, harta benda musnah, fasilitas sosial seperti sekolah dan rumah ibadah juga rusak berat dan ada yang hancur. Lebih mengenaskan, karena menimbulkan korban jiwa meninggal dunia lebih dari seratus orang. Hal ini akibat dari ketidakseimbangan ekosistem menyebabkan masalah yang serius. Pemahaman masyarakat tentang perlunya menjaga keseimbangan ekosistem, masih sangat rendah ditambah lagi dengan situasi sosial ekonomi yang membuat masyarakat makin pragmatis. Masalahnya, bagaimana cara meningkatkan kepedulian warga masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem? Dan bagaimana menumbuhkan sikap dan perilaku sadar bencana bagi masyarakat khususnya di kawasan yang rawan bencana? Karena itu, penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif sikap masyarakat terkait dengan kepedulian menjaga keseimbangan ekosistem dan menumbuhkan perilaku sadar bencana di masyarakat khususnya di daerah-daerah yang rawan bencana sebagai alternatif manajemen risiko bencana. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis kajian studi kasus. Pemilihan informan dilakukan secara purposif dan data yang diolah adalah primer dan sekunder. Dari hasil penelitian ini ditemukan , makin parahnya kerusakan lingkungan menjadi pemicu utama dari bencana alam yang terjadi di Sulsel akhir Januari 2019.. Kerusakan lingkungan ini, dominan karena perilaku masyarakat yang sangat eksploitatif terhadap lingkungan. Misalnya saja yang terjadi di kabupaten Gowa, banjir besar yang terjadi karena di sekitar kawasan Sungai Jeneberang dan Dam Bili-Bili – kegiatan penambangan pasir sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Begitu juga kawasan Gunung Bawakaraeng yang tadinya berfungsi sebagai penyangga banjir, karena sudah lama digunduli akibatnya menimbulkan longsor setiap ada hujan deras. Kondisi ini juga terjadi di Kabupaten Jeneponto, Maros dan lainnya – daerah-daerah ini rentan terhadap curah hujan yang besar. Untuk mengatasi masalah serius ini, maka salah satu alternatifnya dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang sadar bencana. Strategi pembentukan kelompok sadar bencana ini, dengan memadukan pendekatan dari atas (pemerintah) dan dari bawah (masyarakat)
In general, in Bone District there have been conflicts with the background of various factors such as land issues, politics and even those related to religious values and beliefs. Therefore, the goal to be achieved in this service is to increase the knowledge and understanding of the village community on potential conflicts and conflict resolution efforts undertaken. The method used in this training is the provision of knowledge and understanding through lectures and questions and answers, the practice of mapping potential conflicts so that through conflict management training will produce a conflict management document. This activity was carried out from April to September 2019, starting from the formulation of proposals to the preparation of the final activity report. With the tools prepared and formulating conflict management steps that have the potential to occur in the community, the village community will already know and understand conflict management as well as possible.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.