BACKGROUND: The coronavirus disease 2019 (COVID-19) pandemic has created severe medical and economic consequences worldwide since 2019. Tocilizumab is one of the therapies considered capable of improving the condition of patients with COVID-19. However, there is not much information about the best time to give tocilizumab. METHODS: This was an analytical study with a retrospective cohort design, using the data of 125 patients infected by severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) with signs of acute respiratory distress syndrome in Dr. Moewardi Hospital, Surakarta, from March to August 2020. We analyzed various available clinical data to see which factors into clinical improvement with tocilizumab therapy. RESULTS: Most patients showed clinical improvement after administration of tocilizumab. During the follow-up period, 21 patients died despite tocilizumab therapy. Significant risk factors associated with the need for intubation were heart rate, neutrophil, lymphocyte, pH, PaCO2, and PO2. The most influential variable on the need for intubation without being associated with other risk factors was PaO2 (p = 0.003, Confidence Intervals 95%). CONCLUSIONS: Tocilizumab has a role in treating patients infected by SARS-CoV-2, preventing the need for intubation when given to patients in good saturation condition with oxygen supplementation without positive pressure (PaO2 >65mmHg; SpO2 >93%).
A 59 yrs old male with severe ARDS due to COVID-19 infection was in life threatening ‘cytokine storm’. He had also co-morbids including diabetes mellitus and hypertension. He had come from Grobogan, a red area for COVID-19. Clinical finding indicted systemic inflammatory response syndrome (SIRS) with dyspnea, tachycardia, and high fever. Laboratory tests showed raised leukocyte count, CRP, SGOT/SGPT, blood sugar, PCT, low PaO2/FiO2 ratio. RT PCR showed he was infected by COVID-19. Sputum culture showed Klebsiella infection and CXR showed bilateral pneumonia. Patient was treated with standard therapy and a combination of tocilizumab for cytokine-storm and helmet CPAP for severe ARDS. Helmet CPAP has become the first modality for COVID-19 ARDS in some countries but not in Indonesia. We chose helmet CPAP because of the cost efficient, comfortable, and easy operation compared to other modality. We chose tocilizumab because it uses a single dose. Although it is expensive, only one dose is enough and it is effective in blocking the cytokine storm. We found that helmet CPAP and tocilizumab combination in COVID-19 lead severe ARDS could be promising to prevent intubation for patients. Key words: Helmet CPAP; ARDS; COVID-19; Tocilizumab; Cytokine storm Citation: Permana SA, Sugiarto A, Thamrin MH, Arifin, Harsini. A promising therapy of tocilizumab and helmet CPAP to prevent intubation for COVID-19 induced severe ARDS: a case report. Anaesth. pain intensive care 2020;24(6):659-663; DOI: 10.35975/apic.v24i6.1409 Received - 17 September 2020, Reviewed – 01 October 2020, Accepted – 6 November 2020
Latar Belakang: Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) adalah kegawatan pada sistem neurologis yang dapat menyebabkan kematian, akibat keganasan di otak, cedera kepala tertutup, gangguan aliran liquor cerebro spinal (LCS), sumbatan pada sinus venosus utama dan yang bersifat idiopatik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa monitoring TIK dapat meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup pasien-pasien yang mengalami peningkatan TIK. Metode pengukuran TIK non invasif seperti pengukuran optical nerve sheath diameter (ONSD) jarang dilakukan di Indonesia meskipun memiliki nilai manfaat yang besar bagi penatalaksanaan pasien di ICU.Kasus: Kami melaporkan 4 kasus ICU di RSUD Dr. Moewardi, Solo, Jawa Tengah: laki-laki, 54 tahun dengan cedera kepala berat (CKB), ICH regio temporal dan edema cerebri, mendapatkan terapi konservatif; wanita 52 tahun, dengan CKB, SDH regio frontotempororoparietal, ICH regio temporoparietal dekstra dan edema cerebri; wanita 44 tahun mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dengan EDH regio parietotemporal dextra, closed fracture clavicula dextra dan dilakukan kraniotomi evakuasi EDH; laki-laki 45 tahun dengan stroke hemoragik,dekstra, patah tulang tertutup, klavikula kanan dan dilakukan evakuasi EDH pascaoperasi ICH. Pada keempat pasien di atas kami lakukan pengukuran ONSD pada kedua bola mata dengan hasil yang berbeda-beda. ONSD > 5 mm kami anggap pasien mengalami peningkatan TIK, TIK > 20 mmHg, dan terapi di ICU disesuaikan dengan hasil ini untuk menurunkan TIK nya.Pembahasan: Laporan kasus kami ini memberikan gambaran bahwa pemeriksaan sonografi bola mata pasien yang dilakukan oleh klinisi ICU dapat memperkirakan tekanan intrakranial pasien secara cepat dan akurat. ONSD dengan cut off > 5 mm dapat memperkirakan TIK > 20 mmHg. Pada pasien kasus 1, 2, 4 didapatkan ONSD melebihi 5 mm pada kedua bola mata dan TIK diperkirakan melebihi 20 mmHg. Segala terapi yang bertujuan menurunkan TIK telah dilakukan kecuali kraniotomi dekompresi pada 2 pasien (kasus 1, dan kasus 2). Pemeriksaan ONSD juga memberikan informasi kepada klinisi tentang prognosis pasien. Hal ini menjadi penting saat memberikan informasi kepada keluarga pasien dan untuk rencana terapi selanjutnya. Pengukuran ONSD akan sangat bermanfaat dalam merubah keluaran pasien jika diukur pada fase awal dan dapat merubah terapi sesuai hasil ONSD. Pemeriksaan ONSD juga memeiliki keterbatasan yaitu sangat tergantung pada kemampuan operator sonografinya.Kesimpulan: Ini adalah laporan pertama di unit perawatan intensif kami berkenaan dengan metode pengukuran TIK non invasif. Diperlukan penelitian prospektif mengenai akurasi hasil antara pemeriksa, dan kegunaannya pada fase awal pasien cidera kepala (di ruang resusitasi) atau pasien yang beresiko mengalami peningkatan TIK.
Penelitian tentang penggunaan blok pleksus servikalis superfisialis sebagai analgetik pascaoperasi mastoidektomi masih sangat terbatas baik di Indonesia maupun luar negeri. Tujuan penelitian mengetahui efektivitas blok pleksus servikalis superfisialis sebagai analgetik pascaoperasi mastoidektomi. Penelitian ini berdisain uji klinik acak tersamar tunggal pada 30 pasien yang dilakukan operasi mastoidektomi dan memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta periode Oktober 2017-Februari 2018. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok fentanil intravena, blok pleksus cervicalis superfisialis dengan levobupivakain, dan blok pleksus cervicalis superfisialis dengan salin. Semua pasien mendapatkan perlakuan anestesi umum sesuai standar dan dinilai skala nyeri berkala pascaoperasi. Selain itu, juga dinilai efek mual-muntah pascaoperasi, kebutuhan opioid selama operasi, dan efek samping tindakan blok. Skala nyeri pascaoperasi mulai jam ke-2 sampai ke-24 pada kelompok fentanil intravena (nyeri ringan 80-90%) dan levobupivakain (nyeri ringan 90-100%) lebih rendah dibanding dengan kelompok salin (nyeri ringan 10-50%; nyeri sedang 50-70%) (p<0,05). Pada kelompok salin bahkan terjadi nyeri berat sebanyak 40% pada jam ke-2. Skor PONV pada kelompok fentanil, levobupivakain, dan salin mayoritas mual ringan (60%; 40%; dan 50%). Tidak ada komplikasi yan g terjadi terkait blok pleksus servikalis superfisialis. Simpulan, tidak ada perbedaan skala nyeri yang bermakna antara blok pleksus servikalis superfisialis levobupivakain dan fentanil intravena pascaoperasi mastoidektomi.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.