Kerja sama internasional dilakukan oleh Negara-negara dalam berbagai aspek seperti perdagangan, ekonomi, pendidikan, pertahanan, keantariksaan dan sebagainya. Namun, dalam prakteknya kerja sama internasional di bidang keantariksaan tidaklah semudah apa yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama itu. Banyak faktor yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah tanggung jawab. Kajian ini akan membahas elemen kunci yang menjadi tanggung jawab para pihak dalam kerja sama keantariksaan. Tujuan kajian ini adalah untuk mengidentifikasi elemen kunci tanggung jawab para pihak dalam kerja sama keantariksaan dengan menggunakan metodologi yuridis normatif. Dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa selama ini ketentuan mengenai tanggung jawab telah sesuai dengan Konvensi Tanggung Jawab Tahun 1972, selain itu, bentuk tanggung jawab disesuaikan dengan ruang lingkup dari kerja sama tersebut, dan adanya pelepasan tanggung jawab antara para pihak.
Pengesahan UU No 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan menjadi sebuah batu loncatan dalam pembentukan sistem hukum keantariksaan di Indonesia. UU ini perlu ditopang oleh Peraturan Pemerintah dan peraturan lain di bawahnya untuk memperkuat eksistensinya. Dalam proses penyusunan, terdapat kebijakan untuk menggabungkan sembilan amanat RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari ide dilakukannya kajian ini. Permasalahan dalam tulisan ini adalah apa saja pertimbangan yuridis dan konsekuensi pengelompokan RPP sebagai amanat UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan ke dalam 1 RPP dan solusinya. Melalui pendekatan teori hierarki norma dan teori sistem hukum, UU Keantariksaan memiliki ruang lingkup luas, multisektoral, dan sarat dengan hal-hal teknis, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penyusunannya dan tidak dapat digabung ke dalam satu wadah peraturan, melainkan dikelompokkan ke dalam beberapa peraturan pemerintah, yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penguasaan dan Penjalaran Serta Perlindungan Teknologi keantariksaan; (ii) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Antariksa; dan (iii) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan.
Teknologi penginderaan jauh bernilai strategis karena karakteristik yang dimilikinya, seperti keakuratan data yang objektif dan terukur, jangkauan pengamatan yang luas, serta pengulangan pengamatan yang periodik dan berkelanjutan. Teknologi ini terdiri dari teknologi resolusi rendah, menengah, dan tinggi. Untuk bisa mengelompokan teknologi penginderaan jauh ke dalam kategori rendah, menengah, atau tinggi dapat dilihat dari kemampuan resolusi spasial, resolusi spectral dan resolusi temporal yang dimilikinya.Tulisan ini khusus mengkaji terkait dengan pengaturan teknologi penginderaan jauh resolusi tinggi dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan metode perbandingan terhadap kebijakan negara Amerika dan Jerman. Elemen kunci pengaturan penggunaan dan penyebaran data resolusi tinggi yaitu kriteria resolusi tinggi, lisensi yang dikaitkan dengan kontrol negara, dan kelembagaan.
Indonesia mempunyai kewajiban berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan Pasal II Konvensi Pendaftaran 1975 untuk mendaftarkan objek antariksa yang dimilikinya kepada Sekretaris Jenderal PBB. Pendaftaraan objek antariksa ini bertujuan untuk dapat mengetahui kepemilikan yuridis kontrol terhadap benda antariksa yang diluncurkan. Indonesia dalam hal ini belum memiliki peraturan nasional yang mengatur secara detail terkait pendaftaran objek antariksanya, terutama tentang keterlibatan pihak asing dan swasta dalam kegiatan peluncuran objek antariksa atas nama Indonesia. Kajian ini akan melihat praktek beberapa negara dalam mengimplemantasikan pendaftaran benda antariksa mereka kepada Sekjen PBB dengan adanya beberapa aturan pendaftaran yang terpisah dari PBB, dan juga melihat peraturan nasional mereka dalam mengatur keterlibatan pihak asing dan swasta terhadap pendaftaran benda antariksa. Kajian ini menggunakan Metode Yuridis Normatif dan Metode Komparatif. Hasil kajian ini menjelaskan bahwa negara-negara peserta Konvensi Pendaftaran 1975 seperti Swedia dan Inggris secara aktif telah berupaya memperbaiki praktek registrasi mereka dengan aturan yang ada di Resolusi Majelis Umum PBB 62/101, sedangkan Rusia belum melaksanakan aturan dalam Resolusi tersebut sepenuhnya. Sementara itu, Indonesia pada tahun 2017 telah mendaftarkan national registry nya sebagai bentuk kepatuhan terhadap Pasal II Konvensi Pendaftaran 1975, hal ini juga sebagai upaya untuk penertiban administrasi keantariksaan khususnya pada pihak asing dan swasta.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.