The Preneolithic Stone Artefact of Leang Jarie Site: The Oldest Evidence of Maros Point Technology in the Toalean Culture Region, South Sulawesi. Maros Point is one type of flake tool that shows characteristics of the techno-complex Toalean from South Sulawesi. Early emergence of the Toalean Culture phase is still debated, but most experts agree that this tool only appeared no more than 4000 years ago and is positioned include with pottery or Neolithic period. The Maros Point is considered to be made by the early occupants of Sulawesi after the arrival and contact with Austronesian speakers migration in South Sulawesi. The problem is that the results of the latest research are contrary to previous opinions. This paper aims to show new evidence of excavation at the Leang Jarie Site, as the oldest Maros Point technology ca. 8,000 years ago in the Toalean Cultural Region. Maros Point is made simpler with the support flake without using reduction pattern of flake-blade technology. Flakes with an asymmetrical shape can also be utilized as long as it have a pointed and thin tip. The "backed" retouched technique is also used to maximize flakes with steep sharp edges. Thus, the phase of Toalean Culture compiled by previous studies needs to be reviewed and the presence of Maros Points can no longer be used as a marker of the youngest phase. Maros Point is produced from the early holocene or Preneolithic Period and has possibility its continuation until Neolithic period.Maros Point adalah salah satu tipe alat serpih yang menunjukkan karakteristik teknokompleks budaya Toalean dari Sulawesi Selatan. Awal munculnya masih diperdebatkan. Namun, sebagian besar ahli sepakat bahwa alat ini baru muncul tidak lebih dari 4.000 tahun yang lalu dan diposisikan sekonteks dengan tembikar atau masa neolitik. Maros Point dianggap dibuat oleh penghuni awal Sulawesi setelah kedatangan dan kontak dengan migrasi penutur Austronesia di Sulawesi Selatan. Permasalahannya adalah hasil penelitian terbaru justru bertentangan dengan pendapat sebelumnya. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bukti baru dari penggalian di situs Leang Jarie, sebagai teknologi Maros Point paling tua berumur ca. 8.000 tahun lalu di kawasan budaya Toalean. Maros Point dari masa preneolitik dibuat lebih sederhana dengan dukungan serpih tanpa harus menggunakan pola penyerpihan teknologi serpih bilah. Serpih dengan bentuk yang tidak simetris pun dapat dimanfaatkan selama memiliki ujung runcing dan tipis. Teknik peretusan “dipunggungkan” juga digunakan untuk memaksimal serpih dengan tepian tajaman yang terjal. Dengan demikian, fase budaya Toalean yang disusun oleh penelitian sebelumnya perlu ditinjau ulang dan kehadiran Maros Point tidak bisa lagi dijadikan sebagai penanda fase paling muda. Maros Point diproduksi dari awal holosen atau preneolitik dan mungkin terus berlanjut hingga masa neolitik.
AbstrakBatu Ejayya adalah salah satu kawasan prasejarah hunian Toalian di pesisir selatan Sulawesi. Kawasan ini mulai dihuni pada masa pertengahan hingga akhir holosen. Kawasan tersebut berada di wilayah formasi batuan Vulkanik, dimana ketersediaan sumber bahan Chert untuk peralatan sulit ditemukan. Permasalahan penelitiannya adalah bagaimana perilaku penghuni Toalian membuat peralatan litik dengan keterbatasan bahan material berkualitas baik di sekitar kawasan situs. Temuan artefak litik dari ekskavasi dan survei akan dianalisis dengan fokus pada kategori alat serpih diretus, serpih tidak diretus, serpih utuh dan batu inti pada bahan batuan Chert dan Vulkanik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan peralatan kecil yang cenderung tinggi dan rumit mengharuskan mereka untuk mencari dan menemukan bahan tersebut sebagai bahan utama. Tahapan teknologi untuk bahan Chert diawali dengan penyerpihan awal yang dilakukan diluar dari kawasan situs. Bahan Vulkanik hanya sebagai bahan alternatif untuk peralatan berukuran besar dan tidak membutuhkan modifikasi tinggi.
Penelitian yang intensif di gua-gua prasejarah Sulawesi Selatan telah menunjukkan kemampuan kognitif penghuni Sulawesi yang mungkin jarang dimiliki populasi lain di Wallacea. Pada paruh awal Holosen kemampuan yang diperlihatkan adalah memodifikasi alat serpih yang dikenal dengan tekno-kompleks Toalean. Namun demikian, gambaran perkembangan teknologi artefak batu pada masa antara sebelum hingga awal perkembangan tekno-kompleks Toalean masih jarang diteliti secara intensif. Situs Leang Batti adalah situs hunian yang dapat mengisi kekosongan informasi melalui studi teknologi artefak serpih. Artefak berjumlah 1376 buah diklasifikasi dan dianalisis pada serpih dengan mengamati dinamika morfometrik dan teknologi tipe alat antara Holosen Awal hingga Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Holosen Awal, teknologi yang dominan adalah serpih yang digunakan sebagai alat secara langsung tanpa dimodifikasi. Pada fase Holosen Tengah, ukuran serpih mulai mengalami perubahan karena pengaruh Toalean dengan karakter teknologi serpih yang dimodifikasi mulai masuk dalam konsep dasar sipembuat alat, namun tidak terlalu kuat.
Approximately 50000 stone artefacts have been recovered from the prehistoric site of Leang Bulu Bettue (LBB), on the Wallacean island of Sulawesi, in Indonesia. This large assemblage offers the opportunity to produce a large‐scale, comprehensive model of the early lithic technologies of South Sulawesi. Through the analysis of half of this assemblage, this study identifies a technological shift between the artefacts produced ca.50–40 thousand years ago (ka) – the “Lower Industry” – and the “Upper Industry” artefacts produced ca.40–16 ka. The majority of the assemblage belongs to the Upper Industry, and these artefacts are associated with portable art, ornamentation, and the Homo sapiens remains reported in previous works. These Upper Industry artefacts are largely made on chert that was brought to the site, sometimes in the form of large flake blanks, which was further reduced within the cave and used for ochre and plant processing. Artefact reduction was strategic during this period, and the bipolar method was frequently used for controlled reduction of flakes of various sizes. This represents a shift from the technology seen on the small number of Lower Industry artefacts, recovered from the deeper deposits. The oldest lithic artefacts yet reported from the site were made on immediately available limestone pieces, which were reduced through least‐effort and non‐intensive flake removal dictated by the available platforms. This study is compared to an analysis of Pleistocene artefacts at the nearby site of Leang Burung 2, where a similar technological shift has been observed.
Situs Lembah Karama adalah kawasan hunian prasejarah, yang mengandung banyak data arkeologis untuk mengungkap sejarah kedatangan dan perkembangan budaya penutur Austronesia di Sulawesi. Mereka bermukim di sepanjang Lembah Karama sejak 3.800 tahun yang lalu, terus bertahan dan menyebar untuk mengembangkan pengetahuan logam ke daerah lain, baik hilir dan pedalaman Sulawesi. Lapisan budaya in situ ditemukan pada penggalian tahun 2014 dengan penanggalan sekitar 172 cal BCE hingga 55 CE. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan budaya fase logam awal di Situs Sakkarra berdasarkan data penelitian terkini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis lapisan budaya berdasarkan pengamatan stratigrafi, konteks, dan temuan artefak dari beberapa data ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2014, 2016 dan 2017. Hasil penelitian menunjukkan ada indikasi hunian yang lebih tua, yaitu fase Neolitik, hingga berlanjut ke fase logam awal di Sakkarra. Namun, periode ini tidak berlangsung lama, sebelum akhirnya memasuki tahap hunian intensif 2.000 tahun yang lalu. Tradisi budaya neolitik belum menghilang dan masih melekat dalam tatanan budaya mereka ketika pengetahuan logam mulai hadir di kawasan Lembah Karama. Kesinambungan budaya tercermin dalam pemeliharaan tradisi teknologi Neolitik seperti pembuatan tembikar dan alat-alat batu yang diupam. Lapisan budaya di Situs Sakkara menunjukkan adanya hunian penutur Austronesia yang berlanjut dari fase Neolitik ke fase logam awal di Lembah Karama. Bahkan mereka secara aktif terlibat dalam interaksi perdagangan yang telah terjalin di antara pulau-pulau di Asia Tenggara pada waktu itu.The Karama drainage region is a prehistoric occupation site, which contains many archaeological data to uncover the history of the arrival and development of the Austronesian-speakers culture in Sulawesi. They have occupied along the Karama drainage since 3,800 years ago, continue to persist and spread to develop of metal knowledge to other areas, both downstream and inland Sulawesi. The in situ cultural layers found on excavations of 2014 with dating around 172 cal BCE to 55 CE. The aim of the study is described of early metal phase culture in Sakkarra Site based on the latest research data. This study used qualitative methods to analyses of cultural layers based on stratigraphic observations, contexts, and artifact findings from several data of excavation conducted in 2014, 2016 and 2017. The research result shows there is an indication of older occupation, which is the Neolithic phase, continued unabated into the Early Metal Phase at Sakkarra. However, this period does not last long, before finally entering the stage of intensive occupancy by 2,000 years ago. Neolithic cultural traditions have not disappeared and still inherent in their cultural order when metal knowledge begins to present in Karama Drainage. Cultural continuity is reflected in the maintenance of Neolithic technological traditions such as the manufacture of earthenware pottery and polished stone tools. The cultural layer in Sakkara Site indicates the existence of Austronesian speakers' occupation that continues from the Neolithic phase to the initial metal phase in Karama Drainage. Even they are actively involved in the shipping and trade that had intertwined among the islands in Southeast Asia at that time.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.