Komitmen dan kepimpinan Presiden Benigno Aquino III menjadi titik tolak penting kepada termeterainya perjanjian damai antara Republik Filipina dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF) bermula dari tahun 2012 hingga berakhir tempoh pentadbirannya sebagai Presiden Filipina pada bulan Jun 2016. Sikapnya yang terbuka, lebih bertolak ansur dan memahami keadaan rakyatnya membolehkan beliau mengadakan siri rundingan dan perjanjian dengan MILF bagi mengembalikan keamanan di Selatan Filipina. Berbanding dengan presiden-presiden sebelumnya, Presiden Aquino dilihat memiliki karisma dan kemahiran kepimpinan yang tinggi sehingga berupaya merencana dan mempertahankan perjanjian damai yang ditandatangani demi mewujudkan Bangsamoro Autonomous Region. Ia merupakan satu pencapaian terbesar yang telah dicapai Filipina menerusi kepimpinan Aquino setelah 17 tahun berhadapan dengan pelbagai bentuk halangan dan kegagalan dalam merealisasikan perjanjian damai yang efektif dengan MILF dan Moro National Liberation Front (MNLF). Di tahun terakhir pentadbiran Aquino, perjanjian damai dan Bangsamoro Basic Law (BBL) berada dalam fasa terakhir untuk dilaksanakan sehinggalah kepimpinannya Aquino diambil alih oleh Presiden Rodrigo Duterte pada bulan Jun 2016. Justeru, artikel ini bertujuan untuk menilai komitmen Presiden Aquino dalam menggerakkan proses rundingan damai selain turut menganalisis Comprehensive Bangsamoro Agreement (CAB) dan Bangsamoro Basic Law (BBL) dalam aspek-aspek terpilih. Analisis dalam kajian ini menggunakan rekod-rekod daripada sumber primer dan sekunder meliputi akhbar, laporan, dokumen perjanjian, bil senat, buku dan artikel jurnal. Kata Kunci: perjanjian damai, komitmen, kepimpinan, rundingan, Bangsamoro

No abstract

The policy of the Philippines’ claim to Sabah is significantly influenced by the development of the Philippines’ internal politics and the ideology supported by its presidents. During the regimes of President Macapagal and President Marcos, the Philippines’ foreign policy towards Sabah was fundamentally influenced by the irredentism policy in order to claim that region. The claim over Sabah became the Philippines’ national agenda that was previously confined to the territorial issue of the Sulu Sultanate. The changes that transpired in the people’s struggle, especially since the administrations of Corazon Aquino and Fidel V. Ramos, have brought to life the new idea that true nationalism is based on the “people’s interests” as expressed in the People’s Power Revolution. Both presidents later changed the Philippines’ policy towards Sabah to a dormant claim after all efforts made to drop the claim to Sabah met with failure. Thus, this article aims to assess the continuity and changes of the Philippine claim policy on Sabah and the impact of the idea of nationalism on the formation of the policy since the administration of President Macapagal until that of President Fidel V. Ramos.

No abstract

This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-Noncommercial 4.0 Unported License, permitting all non-commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.