Tingkat kepenuhsesakan penghuni (narapidana dan tahanan) Lapas dan Rutan di Indonesia semakin tinggi. Kepenuhsesakan telah terjadi sejak tahun 1990-an dan hingga awal tahun 2020 telah mencapai 103% dari kapasitas hunian. Kepenuhsesakan di 326 Lapas di Indonesia mencapai jumlah 261 Lapas atau 80,06% sedangkan kepenuhsesakan di 165 Rutan mencapai jumlah 142 Rutan atau 86,06%. Dampak yang timbul dari tingginya kepenuhsesakan ini adalah maraknya gangguan keamanan dan ketertiban, penyebaran penyakit menular, penurunan kualitas hidup, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan pembinaan Pemasyarakatan. Kondisi yang tidak diharapkan adalah terjadinya bencana kemanusiaan. Alih-alih sebagai tempat penghukuman, Lapas dan Rutan menjadi tempat terburuk tidak terlindunginya hak asasi manusia. Upaya mitigasi risiko dampak kepenuhsesakan penghuni Lapas dan Rutan sangat perlu dilakukan untuk menyusun strategi pencegahan, penanggulangan, dan penanganan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini berupa analisis mengenai mitigasi risiko dampak kepenuhsesakan penghuni Lapas dan Rutan di Indonesia. Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai mitigasi dampak kepenuhsesakan, upaya-upaya yang dilakukan untuk penurunan tingkat kepenuhsesakan serta seberapa optimal kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan dalam pencegahan, penanggulangan, dan penanganan kepenuhsesakan narapidana dan tahanan. Diharapkan juga melalui penelitian ini dapat memberikan sebuah gambaran mitigasi risiko dampak kepenuhsesakan penghuni Lapas dan Rutan di Indonesia.
Wabah virus corona (Covid-19) yang sedang melanda dunia pada dewasa ini, hal tersebut bukan suatu wabah yang dianggap remeh atau diabaikan begitu saja. Implementasi kebijakan pemerintah terkait pembebasan narapidana melalui program integrasi dan program asimilasi adalah wujud upaya dalam menanggulangi penyebaran corona virus Covid-19 pada lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, maupun rumah tahanan negara. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon masyarakat mengenai kebijakan pembebasan narapidana guna penanggulangan penyebaran covid-19 di RT 022 RW 006 Dusun Punjul Desa Punjul Kecamatan Karangrejo Kabupaten Tulungagung yang dilihat dari tiga dimensi yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan populasi yang berjumlah 102 orang , diambil sampel secara acak sejumlah 42 responden. Menggunakan angket skala Likert dalam teknik pengumpulan data. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa masyarakat memiliki kognitif yang cukup terhadap kebijakan pembebasan narapidana dengan nilai mean sebesar 2,96, Afektif sebesar 2,83, Konatif sebesar 3,83. Kemudian disimpulkan dari ketiga dimensi tersebut menjadi suatu respon masyarakat dengan nilai mean sebesar 3,20 dan diperlukan suatu sosialisasi terhadap masyarakat terkait kebijakan pembebasan narapidana.
Hak Asasi Manusia adalah hak asasi yang harus dipenuhi oleh segala kalangan,Hak sasi manusia tidak memberikan batasan terhadap jabatan tertentu.Hak sasi manusia juga tidak membatasi kepada jenis kelamin wanita ataupun laki-laki.Narapidana nita bagian dari masyarakat,selaku anusia biasa ia mempunyai hak yang wajib dijunjung tinggi oleh hukum dan pemerintah.Penulis ingin meneliti tentang tinjauan hak-hak perempuan terhadap realitas kehidupan narapidana perempuan di Indonesia untuk mencari perlindungan hukum yang melindungi semua warga negaranya sekalipun ia berstatus narapidana,mereka berhak mendapatkan hak-haknya sebagai manusia khususnya Narapidana wanita.Dalam hal ini narapidana wanita mempunyai hak khusus dan perlakuan khusus karena wanita tentu berbeda dengan Narapidana laki-laki.Narapidana wanita mempunya hak yang dijalni seperti menstruasi ,Hamil,melahirkan dan menyusui anaknya.Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatatif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris menganalisa dari pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada di lapangan.Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan pelayanan terhadap narapidana wanita belum terlaksana dengan baik karena tidak semua petugas pemasyarakatan memahami dan berperan dalam pemenuhan hak atas narapidana wanita,selain itu sarana dan prasarana masih sangat terbatas sehingga pemenuhan hak-hak narapidana wanita masih terbatas dan belum dapat dilakukan secara maksimal.
Lanjut usia adalah seseorang yang telah berusia 60 tahun keatas. Dengan adanya proses penuaan maka fungsi organ manusia pun mengalami penurunan secara alami, ditandai dengan semakin menurunnya kemampuan fisik, sosial, serta psikologi. Sehingga narapidana lanjut usia sangat perlu mendapatkan pelayanan khusus yang optimal mengingat kelompok ini merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap resiko-resiko. Oleh karena itu pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berupaya untuk menyelenggarakan pemenuhan hak bagi kelompok rentan lanjut usia khususnya narapidana dan tahanan melalui Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 32 Tahun 2018 tentang Perlakuan Bagi Tahanan dan Narapidana Lanjut Usia. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, diharapkan mampu memberikan acuan dalam pelaksanaan prosedur pelayanan khusus narapidana dan tahanan lansia.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.