Sumber air panas merupakan salah satu habitat alami dari bakteri termofilik. Bakteri termofilik adalah kelompok bakteri yang mampu tumbuh pada suhu lingkungan yang tinggi, berkisar antara 45°-90°C. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dan karakterisasi morfologi isolat bakteri termofilik yang dapat diisolasi dari sumber air panas Pincara. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptf eksploratif, dengan mengambil sampel pada sumber air panas Pincara. Isolasi dan karakterisasi morfologis dilakukan di Laboratorium Sel dan Jaringan Fakultas Sains Universitas Cokroaminoto Palopo. Isolat dikulturkan pada medium Luriah Bertani Agar (LBA) dan diinkubasi pada suhu ±50ºC selama 3x24 jam. Sebanyak 3 isolat murni bakteri termofilik ditemukan dengan karakteristik bervariasi. Semua isolat bakteri merupakan bakteri Gram positif dan berbentuk basil. Isolat P1 memiliki karakteristik morfologi koloni dengan pigmentasi putih krem, bentuk circular, tepi entire, dan elevasi convex. Isolat P2 memiliki karakteristik morfologi koloni dengan pigmentasi putih krem, bentuk circular, tepi entire, dan elevasi flat. Sedangkan isolat P3 memiliki karakterisasi morfologi koloni dengan pigmentasi putih krem, bentuk irreguler, tepi undulate, dan elevasi flat.
Summary Embryogenic callus of sago (Metroxylon sagu Rottb.) has been grown on three systems of in vitro culture i.e. agar-solidified medium, liquid medium, and temporary immersion system (TIS) medium to observe and compare the development of embryogenic callus over one passage of six weeks. A-half gram of embryogenic callus was cultured on a modified MS medium containing 10 mg/L 2,4-D and 0.1 mg/L kinetin. For histological studies, embryogenic callus was fixed in FAA and embedded in paraplast wax. Serial sections were stained with safranin 1% and observed microscopically. By the end of culture period, the development of embryogenic callus in TIS medium was relatively better than those of the other two media. Fresh weight of callus in liquid medium and TIS increased by 6.5-fold, while on agar-solidified medium increased by 5.4-fold in six weeks. About 40% of callus in liquid medium and TIS and 20% of callus on agar solidified medium have changed into somatic embryos at globular stage. Histology structure of embryogenic callus of the three systems of in vitro culture shows different pattern. On agar-solidified medium, secondary callus and friable embryogenic callus that consist of meristematic cells were formed. In contrast, more embryogenic cells were formed in liquid medium and TIS to support maturation process to somatic embryos. Therefore, temporary immersion system and liquid medium are recommended for maturation of embryogenic callus, whereas agar-solidified medium is for proliferation of embryogenic callus of sago. Ringkasan Kalus embriogenik sagu (Metroxylon sagu Rottb.) telah ditumbuhkan pada tiga sistem kultur in vitro yaitu medium padat, medium cair, dan medium dengan sistem perendaman sesaat (SPS) untuk mempelajari dan mem-bandingkan perkembangan dari kalus embrio-genik selama periode enam minggu. Setengah gram kalus embriogenik dikulturkan pada medium MS modifikasi yang mengandung 2,4-D 10 mg/L dan kinetin 0,1 mg/L. Untuk studi histologi, kalus embriogenik difiksasi dengan FAA dan embedding menggunakan lilin paraplast. Irisan diwarnai dengan safranin 1% dan diamati menggunakan mikroskop. Pada akhir periode kultur, pertumbuhan kalus pada medium dengan SPS lebih baik dibandingkan dengan medium cair dan padat. Bobot basah kalus pada medium cair dan SPS meningkat 6,5 kali sedangkan pada medium padat meningkat 5,4 kali dalam waktu enam minggu. Sebanyak 40% kalus pada medium cair dan SPS serta 20% kalus pada medium padat berubah menjadi embrio somatik fase globuler. Struktur histologi kalus embriogenik pada ketiga jenis sistem kultur in vitro menunjukkan pola yang berbeda. Pada medium padat terjadi pembentukan kalus sekunder dan kalus embriogenik remah yang terdiri atas sel-sel meristematik. Sebaliknya pada medium cair dan SPS pembentukan sel embriogenik lebih banyak yang menunjang proses pendewasaan menjadi embrio somatik. Oleh karena itu, medium cair dan SPS direkomendasikan untuk pendewasaan kalus embriogenik, sedangkan medium padat untuk proliferasi kalus embriogenik sagu.
Summary In vitro culture of sago (Metroxylon sagu Rottb.) on an agar-solidified medium consists of somatic embryos of different sizes, colors, and developmental stages. One gram of mostly globular somatic embryos were cultured on a solid medium to observe their morphological variations with respect to embryo size, color, and developmental stage over one passage of six weeks culture. The medium was a modified-MS medium with half-strength of macronutrients containing 0.01 mg/L ABA and 2 mg/L kinetin. At the end of culture passage, fresh weight of embryo increased by 2.3 folds. The embryo numbers increased by more than two times indicating the formation of secondary embryos. The average size of sago somatic embryos did not change significantly over the culture period; however, the embryo size was already highly varied at the start and increased gradually as the embryo developed. At the initial of culture, 33.7 % of the embryos were yellowish, 64.1 % were greenish, and 2.2% were reddish. By the end of the culture the composition of yellowish embryos increased to 51.2 %, greenish embryo decreased to 42.5 % and red embryos increased to 6.3 %. At the initial culture, 61 % of the embryos were at the globular, 9 % at heart-shape and 30 % at torpedo stage. Generally globular embryos developed into later-stage embryos as the culture progressed, although almost 56% of the embryos remained at the globular stage after the sixth week.Ringkasan Kultur in vitro sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada medium padat terdiri dari embrio somatik dalam berbagai ukuran, warna, dan fase perkembangan. Satu gram embrio somatik yang sebagian besar dalam fase globuler dikulturkan pada medium padat untuk mengamati keragaman morfologi embrio dalam hal ukuran, warna dan fase perkembangan dalam satu periode kultur enam minggu. Medium kultur adalah MS modifikasi dengan setengah hara makro serta penambahan zat pengatur tumbuh ABA 0,01 mg/L dan kinetin 2 mg/L. Pada akhir masa kultur bobot embrio segar meningkat 2,3 kali dibandingkan awal masa kultur. Jumlah embrio juga mengalami peningkatan sebesar lebih dari dua kali yang menunjukkan adanya pembentukan embrio somatik sekunder. Ukuran rata-rata embrio tidak berubah secara signifikan selama masa kultur akan tetapi ukuran embrio telah sangat beragam pada awal kultur dan terus meningkat hingga akhir kultur. Warna embrio mengalami perubahan selama periode kultur. Pada awal kultur dijumpai 33,7 % embrio berwarna kuning, 64,1 % embrio hijau, dan 2,2 % embrio merah. Pada akhir kultur presentase embrio kuning meningkat menjadi 51,2 %, embrio hijau menjadi 42,5 %, dan embrio merah 6,3 %. Pada awal kultur, dijumpai 61 % embrio pada fase globuler, 9 % fase bentuk-hati dan 30 % fase torpedo. Umumnya embrio globuler berkembang menjadi embrio fase lanjut selama kultur berlangsung, namun 56 % embrio masih tetap dalam fase globuler pada minggu keenam.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.