Objectives: Maxillary and mandibular first premolars are amongst the teeth that has a risk to caries and needed to be treated. These teeth were varied in term of root and root canal amount. A successful root canal treatment in premolar teeth is highly dependent on the identification of the number and shape of root canals according to Vertucci. Radiographs are still the main choice in helping dentists establish an adequate diagnosis and treatment plan for root canal treatment. Conventional radiographs produce two-dimensional images which often cause difficulties in interpreting the resulting radiograph images. Modern imaging modalities such as CBCT can be used to produce a more accurate image. The aim of this study was to determine whether there is a difference in the number of root canals of maxillary first premolar teeth displayed on periapical radiographs and CBCT and also to test the accuracy of periapical radiographs in detecting the number of root canals of maxillary first premolar teeth compared to CBCT radiographs. Materials and Methods: This research was experimented by performing periapical radiological examinations and CBCT on 50 maxillary premolar teeth samples, then evaluating the number of visible root canals. Results: The results showed that there was a significant difference in the number of root canals seen on the periapical radiograph and CBCT. Conclusion: CBCT radiographs have the advantage of detecting the number of root canals of maxillary premolars more accurately than periapical radiographs.
Latar belakang: Cone Beam Computed Tomography (CBCT) merupakan salah satu modalitas pencitraan radiologi 3 dimensi yang masih belum optimal digunakan di Indonesia, karena selain mahal harganya juga kemungkinan tingkat pengetahuan dokter gigi tentang CBCT masih kurang. Salah satu penyebab kurangnya pengetahuan bisa jadi karena CBCT tidak termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter Gigi Indonesia (SKDGI) sehingga kemungkinan di beberapa Institusi Pendidikan Dokter Gigi (IPDG) tidak banyak diajarkan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk melihat tingkat pengetahuan dokter gigi di Indonesia tentang CBCT. Metode: Desain penelitian deskriptif, data diperoleh menggunakan kuesioner yang ditujukan kepada responden, yaitu dokter gigi di Indonesia yang aktif berpraktik. Data yang didapat lalu diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel untuk mendapatkan persentase jawaban dari masing-masing pertanyaan dan disimpulkan apakah mayoritas responden memilih jawaban yang benar atau tidak. Hasil: Hasil menunjukkan pada pertanyaan dengan salah satu pilihan jawaban yang benar, mayoritas responden (lebih dari 50%) menjawab benar. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dokter gigi di Indonesia sudah cukup baik, meskipun masih ada beberapa kekeliruan responden dalam pemahaman tentang CBCT. Kesimpulan: Pengetahuan dokter gigi di Indonesia tentang CBCT berdasarkan penelitian deskriptif sederhana menggunakan kuesioner, menunjukkan bahwa tingkat pengetahuannya sudah cukup baik. Akses informasi di era digital sekarang ini membuat dokter gigi dapat dengan mudahnya memperoleh pengetahuan di luar dari apa yang sudah didapat di pendidikan formal. Perlunya materi tambahan mengenai CBCT di kurikulum pendidikan dokter gigi atau memperbanyak materi tentang CBCT di kegiatan P3KGB dapat menjadi solusi.
Pemeriksaan radiologi konvensional menjadi pilihan dokter gigi sebagai penunjang dalam menentukan diagnosis dan rencana perawatan karena harganya yang murah dan hasilnya cukup akurat. Temuan insidental kadang ditemukan pada pemeriksaan radiodiagnostik konvensional tanpa adanya gejala klinis. Laporan Kasus 1: Seorang perempuan usia 24 tahun datang ke Departemen Bedah Mulut RSHS Bandung dengan keluhan gigi taring atas kanannya belum tumbuh. Radiograf panoramik menemukan adanya lesi radiolusen bulat di periapikal gigi 44 dengan struktur internal radiolusen dan radioopak kecil di tengahnya, tanpa gejala klinis. Pasien lalu disarankan untuk melakukan pemeriksaan CBCT 3D. Berdasarkan anamnesis, temuan klinis dan radiograf, radiodiagnosis lesi di periapikal gigi 44 adalah periapical osseus dysplasia. Laporan Kasus 2: Seorang wanita usia 43 tahun dengan keluhan sinusitis dirujuk ke Instalasi Radiologi Kedokteran Gigi RSGM Unpad. Hasil radiograf panoramik sebelumnya yang dbawa oleh pasien tersebut menunjukkan gambaran radiointermediat pada dinding dan dasar sinus maksilaris kanan. Berkebalikan dengan sinus kanan yang merupakan keluhan utama, pada sinus kiri yang tidak memiliki gejala apapun tampak gambaran samar radioopak berukuran sedang, menempel pada dasar sinus maksilaris kiri dan memanjang ke arah superior. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan CBCT 3D untuk melihat lebih jelas lesi pada sinus maksilaris kiri. Radiodiagnosisnya adalah osteoma pada sinus maksilaris kiri. Temuan insidental pada radiograf rutin ataupun diagnostik dapat menunjukkan lesi tanpa gejala yang berpotensi menjadi ganas. Pemeriksaan radiografi harus menjadi pilihan ketika hasil pemeriksaan klinis menimbulkan keraguan. Diagnosis akhir kadang baru dapat ditegakkan dengan tambahan pemeriksaan histopatologis, setelah melakukan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiografis. Pemeriksaan radiografi kadang menunjukkan lesi tanpa gejala klinis. Lesi-lesi tersebut dapat berpotensi untuk menjadi ganas. Pencitraan CBCT 3D dapat menunjukkan gambaran yang tidak dapat terlihat pada pencitraan konvensional.
Cleft lip and palate are the most common craniofacial anomalies in Indonesia. Recent publications report that there was delayed skeletal and dental age in cleft lip and palate patients. Panoramic and lateral cephalometric radiograph to evaluate growth and development through skeletal and dental age is still rarely used. The research aimed to determine the correlation between cervical vertebral maturation and teeth calcification stages in children aged 7 to 16 years old with cleft lip and palate in Unpad Dental Hospital. The research design was analytic correlation and the sample was selected using purposive sampling cross-sectional using secondary data panoramic and lateral cephalometric radiograph. The scores of cervical maturation and teeth calcification stages were then analyzed statistically using SPSS version 16. Spearman coefficient of rank correlation test showed strong correlation between cervical vertebral maturation and teeth calcification stages on all teeth, with the highest rs score was secondary molar (0.734) and p value 0.000 The conclusion of this research is that there is a strong correlation between cervical vertebral maturation and teeth calcification stages in children aged 7 to 16 years old with cleft lip and palate.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.