<p><strong>Background:</strong> During the covid-19 pandemic, there are changes in living habits that must be faced by everyone, including teenagers. Adolescents in orphanages in adjustment experience stress, depression and sleep disturbances that can affect the quality of life. For this reason, progressive muscle relaxation efforts can be used as a way to improve adolescent mental health.</p><p><strong>Methods:</strong> This type of research is an analitic observational. This research was conducted at the Marhdatillah Sukoharjo Orphanage, Central Java. The subjects in this study were 42 people living in the Mardhatillah orphanage which divided into control group (27 people) and intervention group (15 people). In both the control group and the intervention group, mental health assessments were carried out twice. In the intervention group, prior to the second mental health assessment, a progressive muscle relaxation intervention was performed. Data was collected using the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) and intervention. Analyzed by independent t-test with SPSS 21.</p><p><strong>Results: </strong>The results of the independent t test were significant (p=0.042). The control group consisted of 27 subjects with a mean post-test SDQ score of 23.8 (abnormal) and post-test 13.22 (borderline). The intervention group consisted of 15 subjects with a mean SDQ score of 22.2 pre-test (abnormal) and 9.40 post-test (normal).</p><p><strong>Conclusion:</strong> Progressive muscle relaxation can improve mental health in adolescents who live in the Mardhatillah orphanage, Sukoharjo, Central Java.</p><p> </p>
<p class="Abstract"> </p><p class="AbstractNormal"><strong>Pendahuluan: </strong>Meningkatnya pengguna smartphone di era sekarang ini menimbulkan kekuatiran akan efek radiasi sinar smartphone terhadap kesehatan mata. Pada anak usia sekolah, hal ini merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi terhadap tingkat ketajaman penglihatan dan mata kering. Secara Global, hampir 18,9 juta anak di bawah usia 15 tahun mengalami gangguan tajam penglihatan dan mata kering. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama terpapar cahaya smartphone terhadap ketajaman penglihatan dan mata kering pada siswa/i SD Al-Irsyad Kota Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama terpapar cahaya smartphone terhadap ketajaman penglihatan dan mata kering pada siswa/i SD Al-Irsyad Kota Surakarta dalam jangka waktu yang lama.</p><p class="AbstractNormal"><strong>Metode:</strong><strong> </strong>Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan pendekatan <em>cross sectional </em>yang dilakukan pada bulan Oktober-November 2020 di SD Al-Irsyad Kota Surakarta. Populasi penelitian adalah siswa/i kelas VI SD. yang memiliki smartphone. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara <em>purposive sampling</em>. Besar sampel penelitian ini adalah 53 siswa/i SD Al-Irsyad Kelas VI yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi. Data dianalisis menggunakan teknik analisis bivariat. Kedua variabel diuji untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat dengan metode Fisher Test menggunakan aplikasi IBM SPSS Statitik 25 For Windows.<strong></strong></p><p class="AbstractNormal"><strong>Hasil:</strong><strong> </strong>Hasil uji statistik menggunakan uji Fisher test antara lama paparan cahaya smartphone yang diakumulasikan ke dalam tahun terhadap ketajaman penglihatan atau visus didapatkan nilai signifikan sebesar 0,043 (P<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik dan lama paparan cahaya smartphone >3 tahun memiliki risiko 8,526 kali lebih besar untuk mengalami ketajaman penglihatan tidak normal (<6/6). Hasil uji Fisher test antara intensitas paparan cahaya smartphone (jam) dalam sehari terhadap mata kering didapatkan nilai signifikan sebesar 0,008 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik dan individu yang memiliki intensitas terpapar cahaya smartphone >4 jam per hari memiliki resiko 7,7 kali lebih besar untuk mengalami mata kering. Hasil uji Fisher test antara lama paparan cahaya smartphone yang diakumulasikan ke dalam tahun terhadap mata kering di dapatkan nilai yang tidak siginfikan sebesar 0,604 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik antara lama paparan cahaya smartphone yang diakumulasikan ke dalam tahun dengan mata kering yang telah dikategorikan menjadi dua hasil ukur. Demikian juga dengan hasil Fisher test antara intensitas paparan cahaya smartphone dalam sehari (jam) terhadap ketajaman penglihatan (visus) di dapatkan nilai yang tidak siginfikan sebesar 0,769 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik antara intensitas paparan cahaya smartphone dalam sehari (jam) dengan ketajaman penglihatan atau visus yang telah di kategorikan menjadi dua hasil ukur.</p><p class="AbstractNormal"><strong>Kesimpulan: </strong>Terdapat pengaruh lama paparan cahaya smartphone yang diakumulasikan ke tahun terhadap ketajaman penglihatan atau visus dan tidak terdapat pengaruh intensitas paparan cahaya smartphone (jam) dalam sehari terhadap ketajaman penglihatan atau visus. Terdapat pengaruh intensitas paparan cahaya smartphone (jam) dalam sehari terhadap mata kering dan tidak terdapat pengaruh yang signifikan lama paparan cahaya smartphone (tahun) yang diakumulasikan ke dalam tahun terhadap mata kering.</p>
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seseorang dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga mampu mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Dalam kondisi tanpa pandemi, banyak remaja yang membutuhkan dukungan untuk melewati masa peralihan, apalagi bagi remaja yang tidak tinggal bersama keluarganya. Kondisi pandemi covid 19 meningkatkan kecemasan dan gangguan kesehatan mental di kalangan remaja. Sebelum dilakukan pendampingan, rerata skor kesehatan mental anak asuh 22,2, termasuk kategori abnormal, artinya ada gangguan pada aspek mental. Solusi mengatasi masalah tersebut dengan meningkatkan kesehatan mental melalui teknik relaksasi otot progresif yaitu salah satu teknik relaksasi dengan cara menegangkan dan kemudian mengendorkan otot sambil melakukan nafas dalam dan memusatkan perhatian pada perasaan yang ada. Pendampingan dilaksanakan selama 5 minggu di Panti Asuhan Mardhatillah Kartasura. Anak asuh melaksanakan teknik relaksasi ini 3 kali seminggu. Pengasuh memonitor pelaksanaan relaksasi otot progresif. Setelah pendampingan, didapatkan skor kesehatan mental anak asuh 12,93, termasuk kategori normal. Hasil analisis statistik menunjukkan p < 0,05. Hal ini berarti terdapat peningkatan kesehatan mental di kalangan anak asuh panti asuhan Mardhatillah setelah dilakukan pendampingan relaksasi otot progresif .Kata Kunci: relaksasi otot progresif; kesehatan jiwa; remajaCOMMUNITY ASSISTANCE OF PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION TECHNIQUES FOR ORPHANSAbstractMental health is a condition in which a person can develop physically, mentally, spiritually, and socially so that he is able to cope with pressure, can work productively, and contribute to his community.In conditions without a pandemic, many teenagers need support to get through the transition period, especially for teenagers who don't live with their families. The COVID-19 pandemic has increased anxiety and mental health disorders among teenagers. Prior to assistance, the average mental health score of foster children was 22.2, including the abnormal category, meaning that there was a disturbance in the mental aspect. The solution to overcome this problem is to improve mental health through progressive muscle relaxation techniques, namelyone of the relaxation techniques by tensing and then relaxing the muscles while doing deep breaths and focusing on the feelings that exist. The mentoring was carried out for 5 weeks at the Mardhatillah Kartasura Orphanage. Foster children carry out this relaxation technique 3 times a week. Caregivers monitor the implementation of progressive muscle relaxation. After mentoring, the foster children's mental health score was 12.93, including the normal category. The results of statistical analysis showed p <0.05. This means that there is an improvement in mental health among the Mardhatillah orphanage foster children after progressive muscle relaxation assistance was carried out. Keywords: progressive muscle relax; mental health; adolescents
Purpose Hyperglycemia in diabetes increases oxidative stress in the body. It causes optic nerve damage and risk of glaucoma. In this study, we evaluated and analyzed the effect of propolis ethanol extract on repair of optic nerve damage in a rat model for Diabetes Mellitus. Study Design Laboratory experimental using the posttest only control group design was used in this study. Methods A total of 28 male Wistar rat were randomly divided into the following four groups namely control (K1), diabetes mellitus (K2), diabetes mellitus with propolis treatment (100 mg/kg) (P1) and diabetes mellitus with propolis treatment (200 mg/kg) (P2). Statistical analysis used ANOVA and Kruskal Wallis with a significance of p < 0.05. Results The results showed that Gunung Lawu propolis significantly reduced serum glucose levels, malondialdehyde levels and C-reactive protein levels (p<0.01). Furthermore, propolis extract significantly decreased caspase-3 expression and TGF-β expression (p<0.05) in the optic nerve. Propolis can significantly repair optic nerve damage (optic nerve necrosis, thinning of the retinal nerve fiber layer and retinal ganglion cell apoptosis (p < 0.01). Conclusion The final results showed that most of the beneficial effects of propolis were mediated by the reduction of blood glucose levels in diabetic rat.
ABSTRAK Kelainan refraksi merupakan penyebab low vision atau penglihatan terbatas terbanyak kedua setelah katarak dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penglihatan merupakan jalur informasi utama dan faktor yang penting dalam proses belajar. Kemampuan penglihatan berkembang optimal sampai usia 9 tahun, sehingga keterlambatan dalam koreksi refraksi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan menyerap materi pembelajaran. Hal tersebut menghambat potensi untuk mengembangkan kecerdasannya yang akan berdampak pada prestasi belajar. Tujuan kegiatan ini adalah terapan dari hasil penelitian tentang Hubungan kelainan refraksi, status gizi terhadap prestasi belajar. Manfaat kegiatan agar guru dan orang tua dapat melakukan tindak lanjut jika anaknya memiliki gangguan refraksi sehingga gangguan penglihatan dapat teratasi dan prestasi belajar meningkat. Metode yang digunakan adalah 1). Sosialisasi program dan penyamaan persepsi. 2). Pemeriksaan kelainan refraksi. 3). Konsultasi kesehatan mata. Hasil kegiatan didapatkan sebagian besar sampel mengalami kelainan refraksi pada okuli dekstra berjumlah 17 siswa (65,4%). Pada oculi sinistra mayoritas sampel mempunyai visus normal yaitu 13 (50%), diikuti dengan kelainan refraksi sejumlah 9 siswa (34,6%). Dampak dari kegiatan ini murid menjadi paham tentang pentingnya menjaga kesehatan mata. Kata kunci: prestasi belajar, kelainan refraksi, murid SD ABSTRACT Refractive disorders are the second most common cause of low vision or limited vision after cataracts and are still a public health problem around the world, including in Indonesia. Vision is the main line of information and an important factor in the learning process. Vision ability develops optimally until the age of 9 years, so delays in refraction correction can cause reduced ability to absorb learning material. This hampers the potential to develop intelligence which would have an impact on learning achievement. The purpose of this activity is the application of the results of research on the relationship of refractive errors, nutritional status to learning achievement. The benefits of the activity are so that teachers and parents can follow up if their child has refractive errors so that vision problems can be resolved and learning achievement increases. The methods used were 1). Program socialization and shared perceptions. 2). Examination for refractive errors. 3). Eye health counseling and consultation. The results showed that most of the samples had refractive errors in the right oculi, amounting to 17 students (65.4%). In the left oculi, the majority of the samples had normal vision, namely 13 (50%), followed by refractive errors of 9 students (34.6%). The impact of this activity is that students understand the importance of maintaining eye health. Keywords: refractive disorder, learning achievement, elementary school students
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.