<p class="Default"><em>Meningkatnya j</em><em>umlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang belum bersekolah mendorong berdirinya sekolah inklusi sebagai salah satu inovasi pendidikan bagi penyandang cacat (disabilitas). Sekolah inklusi menerima ABK dan menyediakan layanan </em><em>pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan </em><em>A</em><em>nak </em><em>T</em><em>anpa </em><em>K</em><em>ebutuhan </em><em>K</em><em>husus (ATBK) dan ABK, seperti penyesuaian kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. </em><em>Adanya tugas tambahan terhadap guru sekolah inklusi </em><em>dapat menyebabkan guru mengalami stres yang tinggi dan merasa tertekan saat meghadapi keanekaragaman karakter </em><em>siswa, h</em><em>al ini dapat menimbulkan burnout</em><em> pada guru. </em><em>Kondisi burnout yang dialami guru </em><em>diasumsikan </em><em>berhubungan dengan kondisi self efficacy. Self efficacy seseorang dapat mempengaruhi aktifitas</em><em>,</em><em> besarnya usaha yang dikeluarkan dan daya tahan dalam menghadapi rintangan. Penelitian ini  bertujuan untuk melihat hubungan ant</em><em>a</em><em>ra self efficacy dengan burnout pada guru di sekolah dasar inklusi. Diharapkan dengan diketahuinya burnout dan self efficacy</em><em>,</em><em> guru dapat menangani permasalahannya dan lebih profesional dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Penelitian dilakukan dengan penyebaran skala self efficacy dan skala burnout kepada 80 orang guru pada 12 sekolah inklusi di Jakarta Pusat dengan karateristik yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan nilai r yaitu -0,112 dan angka signifikansi 0,324 (p &gt; 0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan burnout pada guru di sekolah dasar inklusi</em><em>.</em></p><p class="Default">Kata kunci: Sekolah Inklusi,<em> Self- efficacy, Burnout, </em>Anak Berkebutuhan Khusus</p>